PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN MASA DATANG
Problematika Pendidikan Islam
PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM
MASA KINI DAN MASA DATANG
A.
Latar Belakang Masalah
Agama Islam yang diwahyukan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi
yang mengacu kedua fenomena perkembangan, yaitu; 1. Potensi psikologis dan pedagogis yang
mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan menyandang
derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya.
2.
Potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi
yang dinamis dan kreatif serta responsive terhadap lingkungan sekitarnya[1][1].
Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan
potensi tersebut, maka diperlukan usaha kependidikan yang sistematis berencana
berdasarkan pendekatan dan wawasan yang interdisipliner. Karena manusia semakin
terlibat ke dalam proses perkembangan sosial itu sendiri menunjukkan adanya
interelasi dan interaksi dari berbagai fungsi.
Agama Islam yang membawa nilai-nilai dan
norma-norma kewahyuan bagi kepentingan hidup manusia di atas bumi, baru aktual
dan fungsional apabila di internalisasikan ke dalam pribadi melalui proses
kependidikan yang konsisten, terarah kepada tujuan. Oleh karena itu proses
kependidikan Islam memerlukan konsep-konsep yang pada gilirannya dapat
dikembangkan menjadi teori-teori yang terpuji dan praksisasi dilapangan
operasional. Bangunan teoritis kependidikan Islam itu akan berdiri tegak diatas
fondasi pandangan dasar yang telah diwahyukan oleh Tuhan. Wahyu-Nya terus
berkembang mengacu kepada tuntunan masyarakat yang dinamis-konstruktif menuju
masa depan yang sejahtera dan maju.
Dengan demikian, pendidikan Islam
diharapkan tidak saja sebagai penyangga nilai-nilai, tetapi sekaligus sebagai
penyeru pikiran-pikiran produktif dan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman.
Pendidikan Islam diharapkan tidak saja memainkan peran sebagai pelayan rohaniah
semata, yaitu fungsi yang sangat sempit dan suplementer, tetapi juga terlibat dan
melibatkan diri dalam pergaulan global[2][2].
Paul Tillich berpendapat bahwa setiap
sistim pendidikan, idealnya memiliki orientasi yang bertujuan mengharmonikan
tiga hal sekaligus[3][3], yaitu teknis, humanistis, dan induktif. ketiga hal
ini sistim pendidikan Islam yang ada diharapkan tidak saja “melek” terhadap
teknologi dan informasi, tetapi juga melapisi diri dengan kesadaran religius
agar tidak terjadi split personality dan split integrity oleh penetrasi
perkembangan global yang menyusup ke seluruh ruang kehidupan manusia. Namun,
massivitas (keseluruhan) fenomena teknologi informasi global ini tidak
seluruhnya mampu diserap oleh sistim pendidikan Islam khususnya dan umat Islam
pada umumnya. lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren
sebagai artikulasi sistim pendidikan Islam di Indonesia, kiranya mengalami
ketertinggalan lebih jauh bila dibandingkan dengan sistim pendidikan modern di
negara-negara lain, misalnya Malaysia, Singapura, Australia dan apalagi
Amerika.
Suatu ironi yang harus diakui umat Islam
bersama luasnya konsep al-Qur’an tentang pendidikan adalah pelekatan identitas
tertinggal, terbelakang dan miskin identitas. Ketertinggalan itu sedikitnya
bisa dilihat dari eksistensi madrasah dan pesantren yang dulu memiliki peran
strategis dalam menghantarkan pembangunan masyarakat Indonesia, kini antusias
masyarakat untuk memasuki pendidikan madrasah dan pesantren mengalami penurunan
yang cukup drastis. Kecuali pada pesantren yang mampu melakukan adaptasi dengan
perkembangan global. Sikap pesimisme masyarakat terhadap pendidikan madrasah
dan pesantren bisa dilihat dari adanya kekhawatiran universal terhadap
kesempatan lulusannya memasuki lapangan kerja modern yang hanya terbuka bagi
mereka yang memiliki kemampuan keterampilan dan penguasaan teknologi.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah
tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana problematika pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan
datang ?
2.
Bagaimana prospek pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan
datang?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
makalah ini yaitu:
Untuk mengetahui problematika pendidikan
Islam dulu, kini, dan masa yang akan datang.
Untuk mengetahui prospek pendidikan Islam
dulu, kini, dan masa yang akan datang.
PEMBAHASAN
A.
Problematika Pendidikan Islam dulu, Kini dan Masa yang akan Datang.
1.
Problematika Dasar Pendidikan Islam
Ketertinggalan pendidikan Islam telah
sedemikian parahnya. Hal ini mengundang keprihatinan yang mendalam dan
menyisahkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang
melatar belakangi keadaan tersebut. Seperti; apakah karena adanya SDM ? ataukah
karena adanya aspek-aspek yang terkait dengan
persoalan teologi dan kultur masyarakat muslim Indonesia yang cenderung
jumud dan ortodoks ? Ataukah akibat dari problem strukturalis yang
diskriminatif terhadap keberadaan pendidikan Islam yang lulusannya cenderung
tidak produktif ? Atau mungkin karena akumulasi dari berbagai persoalan
tersebut ?
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut, sebenarnya pada masa lampau
pendidikan Islam pernah menjadi tumpuan utama bagi masyarakatnya dan
perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat
pada masanya. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam
bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh
para penyebar islam yang kemudian berkembang menjadi pengajian di
langgar-langgar, masjid dan pondok pesantren. Pendidikan Islam memang dapat
diterima seiring dengan jalannya pertumbuhan Islam pada waktu itu.
Demikian pula pada masa kolonial Belanda
dan Jepang, sistim pendidikan Islam tetap bertahan dan dapat menyesuaikan
dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan. Namun, pasca era kemerdekaan sampai
sekarang dinamika pertumbuhan sistim pendidikan Islam cenderung menurun dan
kurang dapat mengimbangi kebutuhan obyektif masyarakat, sebagaimana yang
dikatakan AM Saefuddin sebagai berikut: “Pada masa selanjutnya muncullah bentuk
madrasah dan upaya untuk memasukkan materi pendidikan agama kedalam kurikulum
pendidikan umum yang didirikan oleh kolonial Belanda. Pada masa selanjutnya,
yakni ketika bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan, maka bentuk-bentuk
sistim pendidikan Islam baik pesantren, madrasah maupun disekolah-sekolah umum
terus berlanjut, tetapi dengan perkembangan yang tampaknya menunjukkan
ketertinggalan dari perkembangan masyarakatnya sendiri [4][4].
Namun apapun yang terjadi, cara pandang
yang terlalu merendahkan martabat pendidikan Islam jelas kontra produktif,
apalagi hal yang menjadi tolak ukur adalah kemajuan di Barat. Ketertinggalan
dalam pendidikan Islam haruslah dilihat sebagai tantangan. Orientasi ini
menjadi demikian penting agar terhindar dari munculnya problem baru yang lebih
serius. Artinya, apabila melihat ketertinggalan pendidikan Islam ini dengan
rasa rendah diri, maka dengan sendirinya telah mengawali problem baru.
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai
tantangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: Pertama adalah pengembangan
potensi manusia. Mengembangkan potensi manusia dalam pandangan pendidikan Islam
merupakan tantangan yang bersifat holistik, berkesinambungan dan tanpa akhir.
Kedua, membahas tentang kegagalan dari para pemikiran Barat dalam membangun
konsep tentang sifat asal manusia yang tidak dipandu oleh wahyu[5][5]. Ketiga,
membahas tentang tantangan budaya fatalistik dari kaum muslimin sendiri.
Keempat, membahas tentang munculnya ancaman di era abad 21, yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor perubahan sosial[6][6].
2.
Problematika Institusional Kekinian
Perubahan sosial yang terjadi secara
simultan dalam masyarakat, pada gilirannya akan merangsang munculnya berbagai
permasalahan dalam lembaga pendidikan Islam, diantaranya adalah problem lulusan
LPI dengan tuntutan dunia industri, kualitas SDM dan lingkup LPI, masalah
keilmuan Islam yang dilematis dan ambivalensi penyelenggaraan pendidikan Islam.
Semua hal tersebut merupakan
permasalahan-permasalahan yang sangat penting untuk segera dicarikan solusinya.
Namun, problem yang lebih mendasar untuk dipecahkan adalah dua persoalan
terakhir, karena kedua persoalan itu dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam pada masa kini maupun masa datang. Apabila kedua problem
tersebut kurang mendapat tanggapan dimungkinkan masa depan pendidikan Islam
hanya tinggal nama, karena telah ditinggalkan oleh masyarakat yang aktif
mengikuti perubahan.
a.
Keilmuan Islam yang Dilematis
Masalah keilmuan Islam secara historis prespective
dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekontruksi
pemikiran Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus besar
itu adalah warisan ortodoksi
pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam metodologi keilmuan Islam.
Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai
bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan akses negatif terhadap
epistemologi keilmuan dalam
Islam, pintu ijtihad pun tertutup. dampak dari stagnasi pemikiran tersebut
membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama hanya menghasilkan
ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah),
termasuk dalam bidang penafsiran maupun dalam bidang muamalat.
Dalam bidang penafsiran Islam memang dapat
memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya.
Namun, sayang sebagian besar berisi pengulangan yang ada. sebagaimana juga
dijelaskan Nasr hamid Abu Zaid tentang keadaan tersebut sebagai berikut: “pada
saat ini sikap dan wacana keagamaan kontemporer terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an
dan demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah sikap pengulangan. Hal ini terjadi karena
diantara ulama ada yang mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu tersebut masuk
dalam ilmu yang sudah matang dan sudah selesai, sehingga generasi kemudian
tidak lagi memiliki apapun seperti yang dimiliki oleh generasi tua[7][7].
Nasr hamid Abu Zaid menambahkan bahwa
stagnasi pemikiran di dunia Islam ini dipengaruhi oleh apa yang disebutnya
sebagai peradaban teks (Hadharah al-Nash).[8][8] Peradaban teks menurutnya
merupakan sebuah peradaban dimana teks menjadi semacam poros penggerak serta
sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan.[9][9] dalam peradaban demikian, tafsir
teks menjadi semacam kebutuhan
utama dari waktu ke waktu senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah
Islam. Oleh karena itu, Islam dapat
memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metode, mulai dari tahlili sampai maudhu’i.
Peradaban demikian akhirnya membawa
implikasi luas serta memungkinkan terciptanya kultur yang serba berdimensi
teks, termasuk dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu diukur dengan
letterleks teks, tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun manusia
memungkinkan dapat memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian dengan daya
nalarnya, ia tetap harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau ia gagal
dalam merujuk, maka apa yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal pula.
Sedangkan dampak kedua arus tersebut dalam dunia pendidikan Islam adalah
terjadinya transformasi pada paradigma ilmu pendidikan Islam beserta
epistemologinya dari Islamic education of islamic menjadi Islamic education for
Moslem.
b.
Ambivalensi (dikotomi) Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Sistim pendidikan Islam sampai saat ini
dirasa masih bersifat ambivalensi. Sifat ambivalensi yang dimaksud adalah model
penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mengalami ketimpangan, dimana di
satu pihak pendidikan agama yang diterapkan disekolah-sekolah umum hanya
sekedar pelengkap, sedangkan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan pada
sistim pendidikan Islam
(pesantren) kurang mengembangkan penguasaan disiplin ilmu (sains dan teknologi)
dan keterampilan. Ada anggapan yang berkembang selama ini bahwa penguasaan
disiplin ilmu dan keterampilan hanya garapan sistim pendidikan umum.
A. M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim
madrasah dan apalagi sekolah dari PT Islam yang membagi porsi materi pendidikan
Islam dan materi pendidikan umum dalam prosentase tertentu telah terbukti
mengakibatkan bukan saja pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya
kepada tujuan Islam yang membentuk manusia takwa, tapi juga tidak mencapai
tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler. Sementara itu keadaan pendidikan
Islam di sekolah PT umum, lebih jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya
berfungsi sebagai pelengkap yang menempel bagi orientasi pendidikan
sekuler[10][10].
Keadaan itu timbul akibat adanya pandangan
dikotomi yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini jelas
bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang mengajarkan kesatuan
dunia-akhirat, dimana ilmu-ilmu dunia adalah bagian dari ilmu-ilmu agama yang
tidak boleh dipisahkan dengan pandangan dikotomis serta orientasi yang
ambivalen. Apabila keadaan ini tetap dibiarkan, maka dapat dipastikan sistim
pendidikan Islam hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang makin jauh dari
cita-cita pendidikan Islam sendiri.
Perbedaan itu terjadi karena, selain sumber
dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik tolak. Jika ilmu agama
berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum berangkat dari keraguan. Sekalipun
anggapan ini sesungguhnya tidak seluruhnya benar, karena masing-masing
menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.
Mengembalikan pemahaman parsial adanya
dualitas keilmuan ini ke arah integrasi kiranya membutuhkan keberanian serius
dari pelbagai kalangan, pembacaan ulang visi, misi dan orientasi sistim
pendidikan adalah suatu yang urgen bila tidak ingin terjebak pada pengulangan
tradisi yang tak memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan kekinian dan
masa depan. Sekalipun persoalan yang mendasar bukanlah terletak pada dikotomi
dan integrasi, melainkan pada bagaimana menanamkan pemahaman holistik (kaffah)
terhadap ajaran agama yang universal dan kosmopolit. Karena didalam ilmu
sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan disentegrasi, melainkan
spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin cepat, kompetitif dan
berkualitas.
Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam
sesungguhnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum
beriman untuk senantiasa ber-tafakkur (QS. Ali-Imran (3): 189-190) dan
ber-tasyakkur (QS. An-Nahl (16): 114. Perintah memikirkan segala ciptaan Tuhan
di langit dan di bumi melalui hukum-hukum-Nya di dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran Tuhan.
Jadi, orientasi sains dan teknologi
sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulul al-bab,
yaitu seseorang yang dengan fikir dan zikirnya mampu melahirkan gagasan-gagasan
imajinatif bagi peradaban manusia dan lingkungannya, disamping memberikan penekanan pada nilai dan moral.
dengan demikian, tetaplah harus ditegaskan
bahwa tanpa landasan nilai-nilai agama, maka ilmu pengetahuan dan
teknologi justru akan menjadi bumerang bagi manusia sendiri, karena itu
persoalan kini adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat
menjadi milik yang dapat dikembangkan tanpa merasa khawatir akan efek bumerang
dan terpecahnya kepribadian manusia oleh pandangan-pandangan dikotomis. Jalan
yang kini terlihat menjadi titik terang adalah dengan melakukan proses
Islamisasi sains dan teknologi.
kondisi semacam ini tentu saja harus dibaca
sebagai tantangan yang harus segera diantisipasi secara lebih matang dan
terencana serta dituntut untuk
memunculkan inovasi-inovasi[11][11] baru dan mendalam dari masyarakat akademik
maupun yang lainnya, agar pendidikan Islam tetap bisa diterima oleh masyarakat
yang juga terus menerus berubah.
Sejalan formulasi dan pemikiran kehidupan
manusia tidak bisa dilepaskan dari ikatan-ikatan konteks lingkungan, seperti
politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama,
disamping unsur internal seperti bakat dan potensi yang merupakan unsur
ketergantungan eksistensi pendidikan Islam. Imam Tholkhan berpendapat bahwa problmatika pendidikan Islam
kini dan masa datang, antara lain: Pertama, kurangnya kemampuan para lulusan
(out puts) dari lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah, pesantren serta
perguruan tinggi Islam di dalam menelaah teks-teks klasik secara utuh yang
sebenarnya merupakan bagian integral dari kajian pokok yang harus dipelajari.
Para lulusan madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut
dari akar-akar tradisi, nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak
semua lulusan lembaga pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-fungsi layanan
terhadap umat Islam, tak terkecuali hal yang paling mendasar dan memasyarakat
seperti memimpin berbagai ritual keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan
lulusan lembaga pendidikan Islam hanya berpikir normatif atau cenderung
berpikir melalui kaedah keagamaan (deduktif) dan kurangnya mereka memahami
konteks dan substansi empiris dari persoalan-persoalan keagamaan dan sosial
yang dhadapi (induktif). Keempat, sistim pendidikan Islam yang ada sampai
dewasa ini masih dinilai belum bisa menghasilkan manusia-manusia kompetitif di
era global yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, posisi
pendidikan Islam selalu diletakkan pada posisi marginal atau under class.
Keenam, para lulusan lembaga pendidikan Islam belum terlatih untuk
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang baru, baik dalam konteks kultur nasional
maupun antar kultur, sebaliknya mereka hanya terlatih untuk menghafal dan
mengulangi kembali pengetahuan yang baku dan kaku yang keberadaannya kurang
relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ketujuh, para lulusan lembaga
pendidikan Islam cenderung bersifat eksklusif dan belum mampu bekerja secara
profesional. Kedelapan, adanya stigma bahwa lembaga pendidikan Islam itu
sektarianisme yang dibungkus dengan kerangka ideologis, paham, dan kepercayaan
serta kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kesembilan, sistim pendidikan
Islam cenderung milik perseorangan atau kelompok tertentu dari pada milik
bersama atau masyarakat.
Malik Fajar berpendapat bahwa untuk
memecahkan problematika dunia pendidikan Islam sebagaimana digambarkan
tersebut, maka perlu mengadakan konsep pendekatan, sebagai berikut:
1.
Macrocosmis (tinjauan makro), yakni pendidikan Islam dianalisis dalam
hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas.
2.
Microcosmis (tinjauan mikro), yakni pendidikan Islam dianalisis
sebagai satu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi
di dalam diri sendiri[12][12]. Hal ini berdasarkan surat Keputusan Bersama Tiga Menteri[13][13]
Dan beliau menambahkan bahwa untuk menatap
masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran
strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa, perlu ada keterbukaan wawasan dan
keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar serta
menyeluruh. Hal yang mendasar tersebut, antara lain: (a) kejelasan antara yang
dicita-citakan dengan langkah operasionalnya (b) penguatan dibidang sistim
kelembagaannya (c) perbaikan/pembaruan dalam sistim pengelolaan atau
manajemennya[14][14]. Kalau ketiga hal ini bisa dibenahi, maka dunia pendidikan
Islam akan terhindar dari kesibukan “semu” dan setahap demi setahap akan bisa
memenuhi pesan Sayyidina Ali bin
Abi Thalib r.a “Didiklah anak-anak kalian dengan hal-hal yang tidak seperti yang kalian
pelajari diajarkan. Sesungguhnya mereka itu
diciptakan dalam zaman yang berlainan dengan zaman kalian. Artinya, suatu
lembaga pendidikan harus membentuk wadah akomodatif terhadap aspirasi masyarakat
pendidikan yang berorientasi ke masa depan.
B.
Prospek Pendidikan Islam Masa Kini dan Masa Datang
Meyakini pendidikan sebagai upaya yang
paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam
pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas
penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi
pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:
1.
Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu
pengetahuan sebagai instrumen
untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat ditaati oleh manusia modern dewasa ini,
terutama mereka yang bukan Islam.
Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih
dari itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu
pengetahuan itu sebagai mediator untuk menuju keunggulan dua kehidupan sekaligus,
yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan
ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada sabda Rasulullah
SAW: Barang siapa yang ingin unggul di dunia,
harus dengan ilmu. Dan barang siapa
yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang
ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR. Ahmad)
2.
Dalam perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan
dan dorongan bagi kemajuan ilmu
pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan ilmu
pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini dengan kemajuan di bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang sebelumnya pernah
dicapai oleh dunia Islam. Karena memang diyakini oleh dunia bahwa
Islamlah yang mula-mula
menyebarkan pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam
oleh dunia Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para
sarjana Islam terhadap karya Yunani
klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya pemurtadan terhadap
filosof Islam lantaran
menggandrungi pemikiran Yunani klasik tersebut.
3.
Umat Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga
pendidikannya. Lembaga yang dimiliki
ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang tak ternilai harganya. Memang
masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu seberapa jauh mereka mampu mengangkat
ajaran Islam dan sekaligus menjadikan
lembaga-lembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya pembangunan. Untuk itu, kiranya
lembaga-lembaga pendidikan Islam harus
semakin menyadari akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen
strategi, yaitu menjadikan
dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.
Disamping itu dalam era globalisasi ini
terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling
ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah
dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia,
pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Adapun peluang sistim pendidikan Islam di
Indonesia, antara lain:
a.
Sistim pendidikan Islam Indonesia tidak mendominasi sistim
pendidikan Nasional, karena
ajaran Islam secara filosofis tidak bertentang dengan filosofis hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep
penyusunan sistim pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang menggiringnya terbuka
kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
b.
Pancasila sebagai asa bernegara secara filosofis menjadi landasan
filsafat pendidikan.
c.
Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka
lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana baru untuk memperkokoh wacana tersebut[15][15].
Dengan demikian dilihat dari segi ajaran
maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub
sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara
politik pendidikan Indonesia menempati
posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas
pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman
klasik.
PENUTUP
Dari uraian tersebut, maka penulis
berkesimpulan sebagai berikut:
1.
Pendidikan Islam mengalami berbagai problem, yakni dualisme
(pendidikan agama dan umum),
diskriminasi anggaran pendidikan yang tidak seimbang, produktifitas dan kualitas SDM yang rendah
dan tidak mampu bersaing, sistim
manajemen pendidikan Islam tidak memenuhi standarisasi dan tuntutan
dasar, sampai pada kesenjangan
antara hasil pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja.
2.
Prospek sistim pendidikan Islam di Indonesia dalam sub sistim
pendidikan Nasional secara politis,
juridis dan sosiologi pendidikan Islam dapat diterima, sekalipun tetap mendapat tantangan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I,
Penerbit: PT. Bumi Aksara, Jakarta,
Oktober, 2003.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan
Umum, Cet. IV, Penerbit: Bumi Aksara,
Jakarta, 2000.
Abu Zaid, Nasr hamid, Tekstualitas
Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an,
Penerbit: LKIS. Yogyakarta, 2001.
Fajar, Malik, Visi Pembaruan Pendidikan
Islam, Cet. I, Penerbit: LP3NI, Jakarta, Oktober, 1998.
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan;
Suatu Analisis Psikologis dan
Pendidikan, Penerbit: Al-Husna’, Jakarta, 1989.
Sahrodi, Jamali, dkk, Membedah Nalar
Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit:
Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta,
Desember, 2005.
Sumardi, Muljanto, Pendidikan Islam, Bunga
Rampai Pemikiran Madrasah dan Pondok
Pesantren, Penerbit: Pustaka Biru, Jakarta, 1980.
Tholkhah, Imam, dkk, Membuka Jendela
Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit: PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Juli,
2004.
[1][1]Muzayyin Arifin, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: PT. Bumi Aksara, Jakarta, Oktober,
2003), h. 4
[2][2]Imam Tholkhah dan Ahmad
Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Juli,
2004), h. 4
[3][3]Tujuan teknis artinya
pendidikan diorientasikan kepada kemahiran dan keahlian (skill), seperti
kerajinan tangan dan seni, membaca, menulis, aritmatika dan hal lain yang
berkenaan dengan kemampuan peserta didik menggunakan alat-alat dengan cekatan.
Tujuan humanistik adalah sikap disiplin, penundukan pada tuntunan-tuntunan
obyektif bagaimana mengolah partisipasi dan integrasi didalam pergaulan sosial
dan pemanfaatan secara maksimal semua potensi manusia secara individual dan
sosial. Sedangkan tujuan induktif adalah bagaimana membangun peserta didik ke
arah kesadaran akan tradisi, simbol dan nilai serta kepercayaan yang dipegangi
bersama sehingga terjadi proses internalisasi dan inkulturasi.
[4][4]Jamali Sahrodi, dkk,
Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Cet.
I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, Desember, 2005), h. 136
[5][5]Hasan Langgulung, Manusia
dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis dan Pendidikan, (Penerbit: Al-Husna’,
Jakarta, 1989) h. 264
[6][6]Jamali Sahrodi, dkk, Op.
cit, h. 137
[7][7]Nasr hamid Abu Zaid,
Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Penerbit: LKIS.
Yogyakarta, 2001), h. 4
[8][8]Ibid, h. 1
[9][9]Ibid, h. 2
[10][10]Jamali Sahrodi, dkk,
Op. cit, h. 151
[11][11]Mengenal inovasi dalam
upaya peningkatan mutu dan pembaharuan dalam bidang pendidikan, antara lain
diperlukan: modernisasi management pendidikan, modernisasi guru-guru,
modernisasi proses belajar, diperkuat anggaran belanja pendidikan. lihat,
Muljanto Sumardi, Pendidikan Islam, Bunga Rampai Pemikiran Madrasah dan Pondok
Pesantren, (Penerbit: Pustaka Biru, Jakarta, 1980), h. 19
[12][12]Malik Fajar, Visi Pembaruan
Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: LP3NI, Jakarta, Oktober, 1998), h. 3
[13][13]SK Tiga Menteri tentang perbaikan
metodologi di IAIN dan memasukkan jenis-jenis ilmu pengetahuan umum serta
keterampilan dilingkungan pondok pesantren
[14][14]Malik Fajar, Op. cit,
h. 33
[15][15]Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam dan Umum, Cet. IV, (Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 2000), h.
107
https://rahmatagustiyan.wordpress.com/problematika-pendidikan-islam/
………………………………..
………………………………………………………………………………..
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN
CARA MENGATASINYA
Feb
20
Oleh :
Darsa Wijaya
A.
Pendahuluan
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam
mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumber
daya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang tercipta
merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Pendidikan Islam bersumber pada nilai-nilai agama
Islam di samping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai
tersebut.[1]
Namun, hingga kini pendidikan Islam masih
saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari permasalahan
konseptual-teoritis, hingga permasalahan operasional-praktis. Tidak
terselesaikannya persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan
lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga
pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika
kemudian banyak dari generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan non Islam.
Ketertinggalan pendidikan Islam dari lembaga pendidikan
lainnya setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:[2]
Pendidikan Islam sering terlambat
merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang
dan yang akan datang.
Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih
lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan
ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi,
dan matematika modern.
Pendidikan Islam tetap berorientasi pada
masa silam ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau kurang bersifat
future oriented.
Sebagian pendidikan Islam belum dikelola
secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun
pelaksanaan pendidikannya.
B. Problematika Pendidikan Islam Masa Kini
1. Problem Konseptual-Teoritis
Ketertinggalan pendidikan Islam ini salah
satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan
Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan
kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan
jasmani.
Oleh karena itu, akan tampak adanya
pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral
dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan
antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi.
Adanya dikotomi inilah yang salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan
Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu,
serta pikir dan zikir.[3] Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan
paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia
pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep
‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah
(manusia sebagai khalifah Allah).
Selain itu orientasi pendidikan Islam yang
timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan, dari
persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis.
Di samping itu, pendidikan Islam menghadapi
masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin
cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak
memperdulikan lagi sistem suatu agama.
Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam
berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu
sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena
pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai
kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan
dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka
menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan
kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern. Hal ini pun didukung
dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan
bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”.
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu
umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan
kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang
berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam. Agama dianggap tidak ada
kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memperdulikan agama.
Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air
sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh
masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama
saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem
pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau
bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.
2. Problem Mendasar : Sekularisme sebagai
Paradigma Pendidikan
Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur,
sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang
dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3
yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.[4]
Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak
otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”.
Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik,
termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah pribadi dan
tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan,
maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para
individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).
Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem
pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini
dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang
jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”.[5]
Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi
pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan
dikotomi semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang
berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui
penguasaan sains dan teknologi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan
tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren
yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah
dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang
sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap
secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya
sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.
Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU
Sisdiknas tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan
memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak
proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.[6]
Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak
didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
3. Problem-problem Cabang
Masalah-masalah cabang yang dimaksud di
sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak
sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:[7]
a.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali
sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
b.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.[8]
Dari pasal tersebut, maka syarat-syarat
untuk menjadi guru dapat disimpulkan sebagai berikut:[9]
Berijazah
Sehat jasmani dan rohani
Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
Bertanggung jawab
Berjiwa nasional
Walaupun guru bukan satu-satunya faktor
penentu keberhasilan pendidikan tetapi guru merupakan titik sentral pendidikan
dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil
sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
c.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya.[10]
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali
kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan
dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi
gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka
yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta
dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen.[11]
C. Solusi Problematika Pendidikan Islam
Masa Kini
1. Solusi Problem Konseptual-Teoritis
Mencermati kenyatan tentang konsep dikotomi
pendidikan, maka mau tidak mau persoalan konsep dikotomi pendidikan harus
segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik
maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena
pemikiran ini nanti akan memberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan
ideologis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya
segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu sistem
pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu
sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan harus atas
dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar
tambal sulam.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam
mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis
pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara
“empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan
(sosio dan kultural) Filsafat Integralisme adalah bagian dari filsafat Islam
yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era
postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan filsafat integralistik
ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang
berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam.
Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu
juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama
dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu sekular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari
pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada
pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah
menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat
ini merupakan produk dari pemikiran Barat modern yang mengalami suatu
kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam
adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah
perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan
seimbang. Hanya ada beberapa sisi saja dari kehidupan manusia yang
dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya
adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat
materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang
bernama teknostruktur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme.
Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan
seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu
tauhid.
Pandangan filosofis inilah yang menjadikan
pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan
Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua
aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan
pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun kokoh,
maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian, filsafat
integralisme nantinya akan menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem
pendidikan integratif.
2. Solusi Problem Mendasar: Sekularisme
sebagai Paradigma Pendidikan
Penyelesaian problem mendasar tentu harus
dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan
perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan
sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang
harus dilakukan adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu,
menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak
ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu
tetap berada di jalan yang salah. Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang
benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah mendasar
diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan,
baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru dan kesejahteraan guru.
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak
total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas
Islam, bukan asas yang lain.
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu
adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya
dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah
tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah
yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti
tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
3. Solusi Problem-problem Cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya
masalah mendasar, sistem pendidikan Islam di Indonesia juga mengalami
masalah-masalah cabang, antara lain:
Rendahnya sarana fisik
Rendahnya kualitas guru
Rendahnya kesejahteraan gutu
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di
atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan
Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini,
diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk
pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang
yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana
fisik dan kesejahteraan guru berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi
yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam
dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme
saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang
menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan
pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem
pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi
peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru.
DAFTAR PUSTAKA
Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.
Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam Cet.
V. Jakarta: Kalam Mulia.
Republik, 13 Juli 2005.
Uhbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam
II. Bandung: CV Pustaka Setia.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Bandung: Fokusmedia.
www.pendidikan.com. Tanggal 23 November
2008.
[1]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II
(Bandung: CV Pustaka Setia. 1999), hlm. 15.
[2]www.pendidikan.com. Tanggal 23 November
2008.
[3]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V
(Jakarta: Kalam Mulia. 2006), hlm. 342.
[4]Undang-undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokusmedia.2003), hlm.
7.
[5]Ibid., hlm. 11.
[6]Ibid., hlm. 23-24.
[7]Ramayulis, Loc.Cit.
[8]UU No. 20 Tahun 2003, Op.Cit., hlm. 25.
[9]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000), hlm. 139.
[10]Republik, 13 Juli 2005.
[11]Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.
//hudacianjur.wordpress.com/2013/02/20/30/
……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Nafas keislaman dalam pribadi seorang muslim
merupakan alat vital yang menggerakkan perilaku yang diperkokoh dengan ilmu pengetahuan
yang luas, sehingga ia mampu memberikan jawaban yang tepat guna terhadap
tantangan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu pendidikan Islam
memiliki ruang lingkup yang berubah-ubah menurut waktu yang berbeda-beda. Ia
bersikap lentur terhadap perkembangan kebutuhan umat manusia dari waktu ke
waktu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan Islam dipergunakan dalam
2 hal, yaitu:
1.
Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang/lembaga untuk menanamkan
nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa.
2.
Keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan
kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.[1]
Dalam konteks istilah “pendidikan” masuk
dalam kategori nilai, dan istilah “pengajaran” masuk dalam kategori rekayasa
manusia yang secara terus-menerus dimutakhirkan untuk mencari nilai-nilai
luhur.[2]
Salah satu pandangan modern dari seorang
ilmuwan muslim hasil pendidikan Islam Dr. Muhammad S. A Ibrahimy mengungkapkan
pengertian pendidikan Islam yang berjangkauan luas, sbb:
“Islamic education in the true sense of the
term, is a system of education which enacles a man to kad his hide according to
the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with
tenets of islam, and this peace and prosperity may prevail in his own life as
well in the whole word this Islamic scheme of education is of necessity and
embracing system, for islam encompasses the entire gamut of muslim’s life. It
can justly be said that all brantes of karming which one not Islamic are
included in the Islamic education. The scope of Islamic education has been
changing at different times. In view of the demands of the age and the
development of science and technology, its scope has also videned”.[3]
Dengan demikian, apa yang kita kenal dengan
pendidikan Agama Islam di negeri kita, merupakan bagian dari pendidikan Islam,
dimana tujuan utamanya adalah membina dan mendasari kehidupan anak didik dengan
nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam. Sehingga ia mampu
mengamalkan syariat Islam secara benar sesuai pengetahuan Agama.[4]
B.
Sistem Pendekatan dan Orientasi
Orientasi sistem pendidikan Islam Indonesia
telah mengalami perubahan dan perkembangan terus-menerus.[5]
Orientasi pendidikan Islam dalam zaman
teknologi masa kini dan masa depan perlu diubah pula. Yang semula berorientasi
kepada kehidupan ukhrawi menjadi duniawi ukhrawi bersamaan. Orientasi ini
menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya
harus lebih diproyeksikan ke masa depan pada masa kini atau masa lampau.[6]
IPTEK, pemikiran, keterbukaan dan antisipasi ke depan semakin menguat. Hal ini
karena disebabkan oleh semakin berkembangnya pandangan teologi yang vitalitas
dan rasional. Meskipun demikian, masih terasa adanya dua orientasi yang
berjalan secara beriringan antara orientasi sistem pendidikan Islam dengan
sistem pendidikan nasional belum terdapat integrasi yang tuntas. Secara
filosofi dan akademis masih terasa adanya ganjalan dikotomi antara ilmu agama
dan umum.[7]
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai
kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan
sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa keberadaan Islam yang
mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilah yang merajalela di luar kehidupan
Islam lebih-lebih dalam menghadapi pergesaran nilai-nilai kultural yang
transisional dari dunia kehidupan, yang belum menemukan pemukiman yang mapan,
maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru
yang releven dengan tuntutan zaman justru karena pendidikan Islam membawakan
prinsip dan nilai-nilai absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perusahaan
sosiokultural itu.[8]
C.
Penyelenggaraan Pendidikan Islam Indonesia
Secara sosiologis dan dalam sketsa pasar,
sistem pendidikan Islam di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Strategi
Seiring dengan proses perkembangan
orientasi tadi, strategi pendidikan Islam Indonesia pada masa awalnya juga
teralinasi dan konfrontasi dengan pemerintah kolonial. Begitu keras konfrontasi
mereka, sampai-sampai celana dan dasi pun diharamkan. Bahkan cara-cara belajar
dengan duduk di kursi juga haram. Hal itu dianggap sebagai kebiasaan kaum
kafir, kini keadaannya telah berubah nyaris total.
2.
Sumber Belajar
Sumber belajar sistem Pendidikan Islam
Indonesia harus berubah dan berkembang semakin beragam dan intensif. Tidak
hanya jumlahnya, tetapi juga kualitasnya. Kalau dulu santri hanya menerima
materi dari sumber tunggal yakni kyai, tetapi kini, menerima materi dari banyak
sumber. Mereka dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai.
3.
Metodologi Belajar
Metodologi belajar yang berlaku saat ini
tampak masih “klasik”. Dalam arti, mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang
diyakini benar untuk disampaikan kepada anak didik tanpa memberikan kesempatan
kepadanya agar disikapi secara kritis. Kini keadaannya berubah,
kelompok-kelompok diskusi telah berkembang dimana-mana, pelajar terutama
mahasiswa, telah menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali mengejutkan
dan membuka rahasia yang sebelumnya tidak diduga sebagai suatu masalah.
4.
Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan sistem pendidikan Islam di
Indonesia juga teralienasi dan tidak jelas bedanya dengan pranata-pranata
sosial yang lain. Seluruh kelembagaannya bersifat nonformal dan milik pribadi,
tidak professional dan bukan menjadi milik institusi.
5.
Prestasi
Seiring dengan komponen-komponen diatas dan
kondisi sosial budaya pendukungnya prestasi sistem pendidikan Islam Indonesia
pada awalnya lebih terfokus kepada pertahanan mental spiritual dan ritual
keagamaan. Kini prestasi sistem pendidikan di Indonesia semakin menguat
terutama di sisi keilmuan atau pemikiran. Tentu saja fenomena tersebut semakin
memperkokoh domain efektif keagamaan untuk mendampingi pengalaman dan
pengembangan IPTEK.
6.
Kondisi Sosial Budaya Rumah
Pada awalnya kondisi sosial umat masih amat
bercorak fikih, sufistik, sinkritis dan primordial. Kini, secara keseluruhan
kondisi sosial budaya umat telah berubah dari tradisional menuju rasional.[9]
D.
Permasalahan Pendidikan Islam Saat Ini
Terkait dengan ketertinggalan pendidikan
Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap
pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi
yang terpisah dengan kehidupan duniawi atau aspek kehidupan rohani yang
terpisah dengan kehidupan jasmani.[10]
Permasalahan mencuat ketika umat Islam
berusaha mengejar ketertinggalan dalam bidang IPTEK namun mau menghindari cara
kerja epistemiknya yang dinilai tidak “islami” (produk barat) untuk diganti
dengan cara kerja epistemik yang islami (qur’ani). Pemikiran semacam inilah
yang pada dasarnya memunculkan ambiguitas. Dalam konteks ini, pendidikan Islam
masih di dominasi oleh knowing daripada doing. Ini bisa dilihat dari
praktek-praktek pendidikan, lebih khusus lagi metode pengajarannya yang ada di
berbagai institusi-institusi pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah.
Proses belajar mengajar yang ada masih mengedepankan penguasaan pengetahuan di
bawah otoritas guru daripada belajar melalui murid mengembangkan dari
aktifitasnya sendiri di bawah bimbingan sendiri. Metode belajar semacam
ceramah, hafalan bandongan sorogan, dalam prakteknya masih dikendalikan oleh
otoritas kyai atau guru walaupun memang aktif namun dia tidak bisa menentukan
kitab yang dipelajarinya.[11]
Adanya sistem dikotomik inilah yang menurut
Abdurrohman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga
kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu. Kondisi sekarang
ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme.
Dalam artian bahwa satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis dimana
mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuan-ilmuan
besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan
ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi hasanah Yunani, namun di
sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak
berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Terjadinya penilaian-penilaian antara ilmu
umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan
kemunduran peradaban, lantaran ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di
luar ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan
ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memedulikan agama. Begitulah gambaran
praktek kependidikan dan aktifitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan
berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di
atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis
atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini
sitandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara
agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam
terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan
sosial-kultural mereka. Pada saat, mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam
mereka akan mengalami sosial-shock.
Keempat, penanganan terhadap masalah ini
hanya sepotong-sepotong, tidak integral dan komprehensif.[12]
E.
Solusi dan Peluang Problematika Pendidikan Islam pada Saat Ini
Bagaimanapun sistem pendidikan Islam di
Indonesia memiliki peluang-peluang yang amat besar dalam menghadapi
masalah-masalah tersebut:
1.
Sistem pendidikan Islam Indonesia tidak menghadapi dominisi sistem
pendidikan nasional, karena ajaran Islam secara filosofi tidak pernah
bertentangan dengan pandangan hidup bangsa.
2.
Pancasila sebagai azaz tunggal secara filosofi merupakan bagian dari
filsafat Islam.
3.
Dalam keadaan jauh yang lebih stabil baik fisik, hukum, keamanan dan
ekonomi adalah suatu kesempatan yang amat tepat bagi kelompok mayoritas untuk
mengisinya.
4.
Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.[13] Disamping
banyak peluang juga ada solusi untuk mengatasi problematika pendidikan Islam
pada saat ini.
Konsep dualisme-dikotomi pendidikan harus
segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradikmatik,
maupun teknik departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena
pemikiran ini nanti akan memberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan
idelogis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya
segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu sistem
pendidikan integralistik. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan
perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan”
yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris
prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio
dan cultural) Filsafat integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari
filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang
pada era post-modern di kalangan masyarakat barat.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah
menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manusia saat
ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu
kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang partial. Peradaban Islam
adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah
perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan
seimbang. Hanya ada beberapa sisi saja dari kehidupan manusia yang
dikembangkan, begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya
adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat
materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang
bernama teknostruktur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme.
Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan
seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu
tauhid.[14]
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian adanya, agar tidak selalu
berada di belakang kemajuan IPTEK, maka kita harus memutas kembali orientasi
pendidikan Islam dari model knowing yang
cenderung pasif ke arah doing yang
menjanjikan keaktifan dan penguasaan teknologi juga dari orientasi pengetahuan
rasional ke pengetahuan indrawi. Minimal kalau reformasi semacam ini sudah
diterapkan, bisa dengan jalan meminimalkan manipulasi guru atas murid dan
pengembangan murid melalui aktifitasnya dioptimalkan, dengan pertimbangan
bagaimanapun juga murid itu memerlukan bimbingan.
DAFTAR PUSTAKA
http://blogspot.com/2009/01/problematika
pendidikan-islam-masa-kini.html
Mastuhu, M. Ed. Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam. Jakarta : Logos. 1995
Arifin, M. Ed. Kapita Selekta Pendidikan
Islam dan Umum. Jakarta : Bumi Aksara. 1995
Assegaf, Abdul Rahman. Pendidikan Islam di
Indonesia. Yogyakarta : Suka Press. 2007
[1]
http://blogspot.com/2009/01/problematika pendidikan-islam-masa-kini.html
[2] Mastuhu, M. Ed, Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam, cet. 1, (Jakarta:Logos, 1999), hal. 31
[3] Arifin, M. Ed, Kapita Selekta
Pendidikan Islam dan Umum, cet. 3, (Jakarta:Bumi Aksara, 1995), hal. 3-4
[4] Ibid, hal. 5
[5] Mastuhu, op.cit, hal. 31
[6] Arifin, op.cit, hal. 6
[7] Ibid, hal. 5
[8] Ibid, hal. 5
[9] Mastuhu, op.cit, hal. 33-36
[10] http://blogspot.com
[11] Abdul Rahman Assegaf, Pendidikan Islam
di Indonesia, cet 1, (Yogyakarta:Suka Press, 2007), hal. 35-38
[12] http://blogspot.com
[13] Mastuhu, op.cit, ha
……………………………………………
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai kajian dari ilmu pendidikan
yang lebih bersifat praktis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari
belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan dan kebijakan
pendidikan. Keadaan imu pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian
pakar pendidikan dikatakan dalam status stagnasi karena terputusnya hubungan
dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang
bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan
pendidikan dengan para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang
tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh
pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali
kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar
(2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memperhatikan
Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan
praktik pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia telah
berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah
literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan
disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari
Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal
antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan
pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan
tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid
dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama
Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan
ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat
sebagai pesantren .
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat)
di Indonesia membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan
pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin
melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil
menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam
dan pendidikan Barat.
Sehingga memunculkan pandangan bahwa
pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan
pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian
belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya
pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum
pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini.
Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh
Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu
pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi.
Dunia pendidikan saat ini masih dihadapkan
pada berbagai persoalan, mulai dari soal rumusan tujuan pendidikan yang kurang
sejalan dengan tuntutan masyarakat, sampai kepada persoalan guru, metode,
kurikulum dan lain sebagainya.
Tujuan dari makalah ini agar kita
mengetahui problematika pendidikan Islam di Indonesia dan ketika terjun dalam
masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena dengan mengetahuinya
kita setidaknya sudah bisa mengantisipasi segala problem yang akan kita hadapi
saat berada dalam masyarakat khususnya dalam hal pendidikan.
B.
Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Menurut Prof. Sugarda Purbakawaca, dalam
"Ensiklopedi Pendidikan"nya, memberikan pengertian pendidikan,
sebagai berikut: "Pendidikan dalam arti luas meliputi semua perbuatan dan
usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta ketrampilannya (orang menamakan ini juga
"mengalihkan" kebudayaan, dalam bahasa Belanda: Cultuurover dracht)
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya baik jasmani maupun rohani."
Setelah membahas Pendidikan selanjutnya kita
akan memaparkan tentang pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa
pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang diformulasikan oleh para
ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a. Menurut al-Syaibaniy mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik
pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut
dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi
dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
b. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly,
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta
mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang
tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan bisa
membentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan
potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
c
Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang
diberikan oleh seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan
ajaran Islam.
Dari batasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta
didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui
pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
Konsep dasar pendidikan islam yakni usaha,
kemanusiaan, perkembangan, proses, bimbingan oleh manusia secara sadar.
Ruang lingkup pendidikan islam ada tujuh:
1.
Kehidupan beragama, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma islam
2.
Kehidupan keluarga, agar perkembangan menjadi keluarga sejahtera
3.
Kehidupan sosial, agar dapat berkembang menjadi sistem bebas dari penghisapan
manusia lain
4.
Kehidupan politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai
dengan isla
5.
Budaya, agar menjadi manusia penuh keindahan dan kegairahan dengan nilai
norma
6.
Ekonomi, terbina masyarakat yang adil dna makmur dengna ridha Allah SWT
7.
Pengetahuan, bertujuan agar berkembang menjadi alat untuk menapai
kesejahteraan
umat manusia yang dikendalikan oleh iman
Pada tataran filosofis dan praksis
pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang
bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak
kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih
terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam.
Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah,
pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi
& TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti
TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan
problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di
pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah
yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah
(SMA).
C. Problematika Pendidikan Islam
Indonesia merupakan negara yang mayoritas
Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan islam tidak menjadi
mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia public
bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau
posisi marginal dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun
itu, Baik pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya
pendidikan adalah mengembangkan harkat
dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi
khalifah (Mastuhu, 2003).
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam
di Indonesia masih dibalut sejumlah problematika. Suatu Permasalahan dapat
muncul dari elemen-elemen intern maupun ektern yang ada di sekitar badan itu
sendiri. Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu berakar dari
penyebab eksternal dan penyebab internal (Subliyanto: 2010). Problem internal
hingga ekternal pun hadir di tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan
internal dalam hal managemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan
ekonomi menambah sederet daftar problem yang mestinya ditindak lanjuti.
1.
Faktor Internal
Yang dimaksud dengan factor internal ialah
hal-hal yang berasal dari dalam madrasah.
Adapun faktor-faktor internal dalam
pendidikan Islam,yaitu :
a.
Manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan
yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat,
kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah
pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang
di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi. (Abidin : 2010)
Menurut Moh Raqib bahwa problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam
selama ini adalah alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi
hal tersebut tampak pada alumni yang relative banyak tidak mendapat lapangan
kerja dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS sementara lowongan kerja untuk
PNS sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas untuk menciptakan
lowongan kerja sendiri. (Raqib: 89).
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta
didik tentu saja tidak lepas dari system pendidikan dan pembelajaran yang ada
di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak menekankan peserta didik
untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi pengolahan siswa
menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa menegemen
pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu
menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan
berkualitas.
b.
Kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang
merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum,
ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru
seharusnya mempunyai kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan
sosial. (Qurroti : Scirbd.com ).
Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru
tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; dan guru yang merasa bahwa tugasnya
hanya mengajar..
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan
rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan
guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali
kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan
dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi
gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka
yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta
dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
c.
SDM yang kurang
1)
Pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan
pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun
komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi
dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
2)
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan
pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia
bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan
mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang
layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta),
serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan
tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan
diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs
baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat
sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke
atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang
berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
d. Campur tangannya organisasi massa (ormas)
Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk
menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah
matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut
saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah
dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah
diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di
dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi
massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka
masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar" dalam mengemban
misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis
ormas ini seakan ‘over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum
berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang
melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum
sekolah.
Tetapi juga tentunya harus mengkuti
ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan
Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal
umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan
terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin
menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan
pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan
perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing
ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri.
Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit
memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk
melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di
Indonesia tetapi di kancah internasional.
2.
Faktor Eksternal
Faktor berasal dari luar madrasah, tetapi
berpengaruh terhadap perkembangan dan dinamika madrasah.
Adapun faktor-faktor eksternal yang
dihadapi pendidikan Islam, meliputi :
a.
Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam.
1). Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya
dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah
itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada
pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga
bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh
pendidikan umum.
kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari
harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknya beragama Islam.
2)
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur
melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat
keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman
Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan
nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara
Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum
(dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sisi teknis peningkatan mutu
persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang
Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang
sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan).
Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan
persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik
oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected
community".
3)
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini
sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan
proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang
tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan,
sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat
dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah)
ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi
Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang
dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan
memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan
sistem .
Secara sociocultural politis pendidikan Islam
berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat
menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan
cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala
itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu
mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama.
Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian
cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural
politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses
memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul
kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.
b.
Paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi
oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam
tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah
Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak
atau lulusan pendidikan Islam.
c.
Paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah
mata. Lembaga pendidikan Islam merupakan
alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di
lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita.
Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan
mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan
keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan
Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan
masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam
cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan
Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah
lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm.
Ini mungkin menjadi alas an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian
perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam
yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar
berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
D.
Kesimpulan
Problematika pendidikan Islam dibedakan
menjadi 2 sumber internal dan eksternal. Sumber internal yang berasal dari
dalam madrasah meliputi manajemen madrasah, SDM yang kurang, dll. Sedangkan
pada eksternal yang berasal dari luar meliputi kebijakan pemerintah yang
dikotomik dan paradigm yang negative oleh masyarakat terhadap madrasah.
Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan
instansi terkait dengan dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan
islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara optimal
(Miftah: 2010). Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya
membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari
sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap diskriminatif dan
masalah paradigm yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat
perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses
pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian
lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan,
menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam
kembali survive di tengah perubahan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Musnandar, Aries, Problematika Pendidikan
Islam di Indonesia : Posted, 05 November 2011 dari http:// ,diakses pada tanggal 20 November
2011.
Qurroti.Siti,.Problematika.Pendidikan.Islam,.dari.http..:.//ww.cribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam,
Diakses pada tanggal 20 November 2011.
Raqib, Moh. 2009, Ilmu Pendidikan Islam :
Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, LKiS
Yogjakarta : Yogjakarta
Zainal Abidin, Muhammad, Problematika
Pendidikan di Indonesia dan Solusi
Pemecahannya.:Posted.pada.20..Februari..2010.dari.http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan
solusi-pemecahannya/, diakses pada tanggal 20 November 2011.
………………………………………………..
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara mayoritas Islam.
Akan tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan Islam tidak menjadi mayoritas
dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia publik bahwa
pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi
marginal dalam sistem pendidikan nasional.
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tidak dapat dielakkan sebagai ekses dari
implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain oleh pemerintah.
Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan
diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam
masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya
nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan
membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
A.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
1.
Faktor Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu
pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat
rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke
lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang
jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta
didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Hal ini merupakan masalah
terpenting jika menginginkan efektifitas pengajaran.
a)
TujuanPendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya
nalar yang tinggi, memiliki kemampuan analisis tentang apa yang terjadi
sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan akan dapat mengambil
keputusan yang tepat. Akan tetapi fenomenanya, pendidikan itu dapat pula
menyesatkan. Bisa kita lihat dari kualitas pendidikan kita yang hanya diukur
berdasarkan ijazah. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang diperjual-belikan.
Dan tidak bisa kita pungkiri banyak pejabat yang membelinya. Jika kita
pikirkan, berarti asalkan memiliki uang kita tidak perlu bersekolah, ijazah
tinggal kita beli saja. Ini merupakan kondisi bangsa yang memprihatinkan.
b)
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini
masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2.
Faktor Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah menghasilkan efektifitas
dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan
akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang, jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di
dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses
pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya
proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber
daya manusia Indonesia yang lebih baik.
a)
Waktu pengajaran
Dengan survey lapangan, dapat kita lihat
bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan
negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah
yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai
pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi,
peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak
waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal
lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa
proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
b)
Mutu pengajar
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang
menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya
mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh
pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A
mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan,
yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita
melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah
pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga
mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
c)
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kelayakan mengajar berhubungan dengan
tingkat pendidikan guru itu sendiri. Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
d)
Sistem pendidikan
Sistem pendidikan yang baik juga berperan
penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat
disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan
pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita
menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan
aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga
mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan
terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuarang
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
e)
Biaya
Bagi
sebagian besar masyarakat biaya pendidikan masih dianggap mahal. Kita lihat
contoh real mengenai program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih
menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak
usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya.
Padahal ada dana bantuan dari pusat, tapi tetap saja ada pungutan-pungutan liar
yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa.
Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktek di luar,
dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana
dana-dana tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat.
f)
Fasilitas Pendidikan
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali
sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan
media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium
tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Bukankah negara ini memiliki anggaran
pendidikan yang tentunya dapat menanggulangi permasalahan seperti ini. Para
pejabat kita di Senayan saja tiap bulan bisa melakukan tour ke luar negeri
berkedok studi banding, mengapa hanya memperbaiki sekolah yang rusak mesti
berlarut-larut. Yang dirugikan tentunya anak-anak calon penerus bangsa ini.
Bagaimana mereka tidak was-was jika harus belajar di dalam gedung yang hampir
roboh.
3.
Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Dunia pendidikan terus berubah. Kompetensi
yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah apalagi di dalam dunia
terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi.
Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya
memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana
agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli
bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang
diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan
karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna karena terlalu menuntun
standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia.
a)
Ujian Nasional
Banyak pihak merasakan penyimpangan dari
pelaksanaan UN, yang pertama bahwa yang dinilai dalam UN hanya aspek kognitif
peserta didik, padahal dalam kependidikan, kemampuan peserta didik meliputi
tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penyimpangan yang
kedua yaitu bahwa penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh
pemerintah. Hal ini tentunya merampas hak guru dalam melakukan penilaian.
Ketiga, UN mengabaikan unsur penilaian proses. Dan, penyimpangan yang keempat,
yaitu UN memberikan beban sosial dan psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa
menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran
adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya malah menghafal pelajaran.
4.
Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
lulusan yang menganggur. Ada beberapa aspek pendidikan yang bisa kita cermati
dan mengemuka akhir-akhir ini sebagai masalah-masalah penting dalam pendidikan,
yaitu :
a)
Kurikulum
Kurikulum sering dianggap dokumen sakti yang
harus menjadi pegangan. Apa yang tertuang di dalamnya menjadi satu-satunya
pegangan. Banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi. Orientasi
kurikulum masih dilihat dari ketuntasan materi pelajaran. Guru menjadi panik
begitu menyadari materi yang diajarkan belum terselesaikan. Guru selalu
dikejar-kejar target kurikulum, padahal pelaksanaan pembelajaran mengalami
berbagai situasi yang berbeda-beda setiap semester dan setiap tahunnya.
Sehingga pembelajaran di kelas sebagian
besar masih terbatas pada penyelesaian bahan ajar tanpa memperdulikan apakah
seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran atau belum. Realitanya hanya
sepertiga peserta didik yang menguasai seluruh pelajaran. Sedangkan
duapertiganya akan mengakumulasikan ketidakpahamannya yang nanti tercermin dalam
ketidakmampuannya menjawab tes yang diberikan. Selain itu, substansi kurikulum
dalam hal kepadatan materi tidak signifikan dengan alokasi waktu tersedia. Ini
juga merupakan salah satu sebab bahwa materi yang dibelajarkan di kelas kurang
bermakna dan kurang terlihat relevansinya bagi siswa.
B. Solusi bagi Problematika Pendidikan
Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas,
secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
1.
Solusi sistemik,
yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem
sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem
pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan
peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan
pendidikan.
Solusi untuk masalah-masalah yang ada,
khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik,
kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan.
a)
Permasalahan biaya
Jika semua pemangku pendidikan menjalakan
program dengan benar, anggaran pendidikan di negara ini tidaklah kurang.
Sayangnya dengan adanya permainan oknum-oknum, segala hal menjadi kurang,
pemerataan penerimaan dana pendidikan pun tidak seimbang.
Pendidikan yang berkualitas memang tidak
murah, atau tepatnya bisa kita katakan tidak harus murah atau gratis.
Pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga negaranya memperoleh
pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa mengakses pendidikan yang
bermutu. Idealnya pendidikan di Indonesia harus dapat dikenyam oleh anak usia
sekolah minimal SMA sederajat, tanpa memandang anak tersebut berasal dari
keluarga kaya ataupun miskin.
b)
Permasalahan sarana prasarana
Masalah sarana prasarana tentunya akan
berpulang lagi pada komitmen pemerintah dan pemangku pendidikan terkait. Dan
tidak terlepas pula yang sudah dibahas di atas bahwa semuanya harus
dikembalikan ke pribadi pemangku kepentingan, apakah mereka berniat untuk
benar-benar berguna bagi negara atau sekedar mencari keuntungan ditengah
kondisi pendidikan bangsa ini.
Jika semua pemangku kepentingan memiliki
rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh
oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan
sistem pendidikan kita, niscaya pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh
bangsa ini. Mulai dari pejabat pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung
dengan siswa, harus memiliki komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan
bangsa ini.
2.
Solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis
yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru, prestasi siswa, permasalahan kurikulum dan
permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan UN.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya
praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
a)
Permasalahan rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi
peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan
ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru.
b)
Permasalahan rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
c)
Permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi adalah pelaksanaan
dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum ini. Contohnya, jika
guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih
berada pada koridornya) maka janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi.
Bukankah pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa benar-benar memahami
materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi yang diketahui hanya permukaannya
saja.
d)
Permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan
UN. Ijazah memang penting untuk menunjukkan legalitas kemampuan kita, akan
tetapi hendaknya yang memerlukan ijazah ini lebih menekankan proses perolehan
ijazah. Tidak ada bedanya dengan UN, sebenarnya pelaksanaan UN masih relevan,
tetapi dalam prosesnya masih ada yang perlu diperhatikan dan dibenahi.
Contohnya, standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi dan
lingkungan masing-masing siswa.
Pada akhirnya, untuk mencari solusi
terhadap penjengjangan pendidikan, haruslah didasarkan pada apa saja yang harus
di bentukan pada anak didik, perlu melakukan perhitungan secara seksama dengan
melakukan exsperimen yang matang untuk menemukan fakta-fakta kebenaran baru
dalam rangka meninjau kembali penjenjangan tingkat pendidikan yang selama ini
dipedomani.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut
diharapkan pendidikandi Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga
dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian
pancasila dan bermartabat.
C.
Kesimpulan
1.
Pendidikan Islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan
nasional.
2.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
»
Faktor Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas
sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik
dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
a)
Tujuan Pendidikan : sekarang ini banyak ijazah yang diperjual-belikan.
b)
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan : layanan pendidikan usia
dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu
akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
»
Faktor Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
kurang mempertimbangkan proses pembelajaran,
hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
a)
Waktu pengajaran : proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif
juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk
melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
b)
Mutu pengajar : disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada
kompetensinya.
c)
Rendahnya Kualitas Guru : Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme
yang memadai untuk menjalankan tugasnya
d)
Sistem pendidikan : terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap
kuarang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.
e)
Biaya : banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus
sekolah dengan alasan biaya.
f)
Fasilitas Pendidikan : banyaknya fasilitas yang kurang memadai.
3.
Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Peserta didik Indonesia terkadang hanya
memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana
agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.
»
Ujian Nasional : adanya beberapa penyimpangan dari pelaksanaan UN,
4.
Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
lulusan yang menganggur.
»
Kurikulum : banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi, dan
pembelajaran di kelas sebagian besar masih terbatas pada penyelesaian bahan
ajar tanpa memperdulikan apakah seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran
atau belum
5.
Solusi bagi Problematika Pendidikan Indonesia
»
Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
a)
Permasalahan biaya : pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga
negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa
mengakses pendidikan yang bermutu.
b)
Permasalahan sarana prasarana :
jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk
memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat
tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita,
»
Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan.
a)
Permasalahan rendahnya kualitas guru : diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, dan juga solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru.
b)
Permasalahan rendahnya prestasi siswa : diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
c)
Permasalahan kurikulum : guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam
menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) dan tidak menuntut
guru untuk menghabiskan materi.
d)
Permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan
UN : hendaknya seseorang yang memerlukan ijazah lebih ditekankan pada proses
perolehan ijazah, serta standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi
dan lingkungan masing-masing siswa..
…………………………………………
Makalah Problematika Pendidikan Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar
telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan
tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan
nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1] Berdasarkan definisi
ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh
peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat
difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada
tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban
bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem
pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan
‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan
urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem
pendidikan.
Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya
mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap
dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan,
“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Perlu difahami bahwa sekularisme
bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini
adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan
kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang
dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya
sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal
utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu
produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal
21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi
dari avatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU
No.20/2003.[2], UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini
tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib
belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang
lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para
gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki
andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam
lingkup daerah.
Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai
bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang
kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah
mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang
kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi
satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan.
Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa
perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses
kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut
(input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem
pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek
sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka
penulis dapat merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut:
1.
Apakah problem-problem pendidikan di Indonesia ?
2.
Bagaimanakah upaya-upaya
mengatasi problem pendidikan di Indonesia ?
C.
TUJUAN PEMBAHASAN
Pada akhirnya makalah ini akan di
presentasikan dan didiskusikan.
1.
Untuk mengetahui apa saja problem pendidikan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui sejauh mana problem itu dapat di atasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PEMETAAN MASALAH PENDIDIKAN
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas
pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus
juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah
subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek
kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang
saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya,
pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya.
Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa
pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi
secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output
pendidikan.Sedangkan pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas
intelektual dan berbagai keterampilan pisik.[3]
Berbagai perangkat yang mempengaruhinya
tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai
stakeholder yang terkait. Problematika
pendidikan sebagai proses sebuah
sistim yang komplek. Sebagai salah
satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan
pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi
kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah
terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada
rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis
(biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas,
yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana
dalam jumlah besar saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang
Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola
dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54
disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat
bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan
dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan
PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miski
1.Pemerataan Pendidikan
a. Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan
gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto
pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian
karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga
2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK)
94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu
dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP
dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun
2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK
95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun
2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari
target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26%
pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000
anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN
Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
b..Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara
nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada
indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15)
sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari
SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari
total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003).
Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib
belajar akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator
pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73
persen dan 88,68 persen dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008
(8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
c .Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa
pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas
pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas belum
merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD
dan SMP.
d. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia
7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan
anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan
dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala
serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen.
Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang
buta huruf.)
2.Kerusakan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan
salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan
pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam
jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung
secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi
di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat
Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan
rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI
sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak
2.729 ruang kelas. Sedangkan untuk pembangunan ruang kelas baru, SMP dibutuhkan
sebanyak 5.628 ruang kelas baru dan MTs sebanyak 1.706 ruang kelas baru.
Berdasarkan rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru tersebut, maka
dibutuhkan dana keseluruhan sebesar Rp 2.838.770.000.000. Anggaran kebutuhan
sebesar Rp 2,8 triliun tersebut, tidak mungkin ditangani seluruhnya oleh APBD.
Untuk itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional,
Gubernur Jawa Barat, dan para Bupati/Walikota se-Jawa Barat, pemenuhan
kebutuhan tersebut dilakukan sharing antara Pemerintah Pusat sebesar 50% atau
sekitar Rp 1,4 triliun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar 30% atau sekitar
Rp 840 miliar, sisanya 20% atau sekitar Rp 560 miliar dari 25 Kota/Kabupaten di
Jawa Barat. (Sumber: Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar).
3.Kekurangan jumlah guru
Guru sebagai pilar penunjang
terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen
strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal
penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat
maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. sebagai contoh dalam lingkup
Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar
tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada
sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah
menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64
ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu
guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama
(SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan
(SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru
adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin
bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas
pendidikan. Sementara itu, siapa pun mungkin akan setuju mengatakan bahwa
pendidikan adalah salah satu fondasi dalam membangun bangsa. Kualitas sumber
daya manusia bergantung pada proses pendidikan yang dilaluinya. Jika proses itu
berjalan buruk, jangan harap kualitas yang dihasilkan akan baik. Dengan kata
lain, teruslah bermimpi menjadi bangsa besar jika pendidikan tidak menjadi
prioritas dalam proses pembangunan (Pikiran Rakyat, 06/10/2002
4.Kinerja dan kesejahteraan guru belum
Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting
yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja
yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang
Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban
diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas
kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi
dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai
tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di
daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit
membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam
realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya
. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai
peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei
FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Baru-baru ini Mendiknas Bambang Sudibyo
menyatakan akan menaikkan tunjangan guru dalam APBN 2007. Guru PNS dinaikkan Rp
100 ribu, sedangkan non-PNS dari tunjangan Rp 115.000 naik menjadi Rp 200.000.
Sebanyak 556.418 guru madrasah non-PNS mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp
200 ribu per orang., kenaikan tunjangan fungsional sebesar Rp 100.000 per
orang. Kenaikan akan dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
5.Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran,
selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala
keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana,
ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran
yang efektif. Menurut Nurhadi,dan dkk (2004; 1) salah satu aspek penting yang
harus dilakukan dalam kontek pembaharuan pendidikan adalah pembaharuan dalam
efektivitas metode pembelajaran disamping pembaharuan kurikulum dan kwalitas
pembelajaran.[4]
Dalam PP No 19/2005 tentang standar
nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar
proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik,
adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan
efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di
atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan
pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional
sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih melaksanakan proses
pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi
seperti komputer dan internet.
6.Jumlah dan Kwalitas buku yang belum
memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas
merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam
menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005
tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan
bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
B.PENGELOLAAN
1.Penyeleenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan
otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan
tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka
penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan
diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri.
2.Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan
sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan
anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal
49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20%
dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan
skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari
APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat
menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah
yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan
asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun
atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan
kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan
anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada
tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per
tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 %
(2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan
anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1
% pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).
3.Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan
hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara
langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu
dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat
keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dan
sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga
akan berjalan lamban karena tidak tersedianya tenaga pendidik yang kurang
professional.[5]
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan
pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada UU
No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar
pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan
satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola Manajemen Berbasis
Sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola Otonomi
Perguruan Tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan
pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur
organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga
kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik
hubungan; biaya operasional satuan pendidikan. Bagi individu kemampuan untuk
belajar secara terus menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan
kwalitas hidupnya.Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang penting
dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi kegenerasi.[6]
Kemudian standar pengelolaan oleh
pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan
dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan
untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara;
penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai
profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap
kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang
pendidikan.
C.RELEVANSI PENDIDIKAN
1.Belum menghasilkan Life Skil
Dalam kaitannya dengan life skill yang
dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka
berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk
SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain
yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan
pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud
meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar
kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar
kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar
kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan
pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia,
memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan,
mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi
kemanusiaan.
2.Belum berbasis Masyarakat
Struktur kurikulum yang ditetapkan
berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1)
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada
semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi
sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3)
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan
takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global;
dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.Belum Optimal Kemitraan dengan dunia
Usaha dan Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam
pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta
Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta
sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentua mengenai
peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan dan uraian di atas
dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwa sistim pendidikan di Indonesia
mengalami masalah atau problem antara lain:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya
tampung,
2)
Kerusakan sarana dan prasarana,
3)
Kekurangan tenaga guru,
4)
Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5)
Proses pembelajaran yang konvensional,
6)
Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7)
Otonomi pendidikan.
8)Keterbatasan anggaran
9)
Mutu SDM Pengelola pendidikan
10)
Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11)
Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12)
Kemitraan dengan DU/DI
B.
PEMECAHAN MASALAH DAN SARAN-SARAN
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga
tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam
hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan
mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara
lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya.
Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis
ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang
penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada
rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun
diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital).
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan
memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan
masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan
berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang
pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa
mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai
pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan
masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada
hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di
sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai
pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini
akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya
sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam ialah (laksana)
penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya
(rakyatnya) (HR. Muslim).
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai
komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang
memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang
melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut,
maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan
dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan
siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP)
maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan
tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai
dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan
sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses
belajar-mengajar.
[1] . Muhaimin.Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam,PT Rajagrafindo Persada Hal VII Th 2009
[2] .Mulyasa, Menjadi guru Profesional,
Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet 6, Hal 197, Th 2007
[3] .Wiji Suwarno,Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan,Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 23, Th 2006,
[4] .Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur
Kholidiah,Metode dan Teknik Pembelajaran, Bandung, Cet, 1,Hal 115,Th 2009.
[5] .Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan,
Jakarta, Media Group, Cet 4, Hal.2, Th,2010
[6] .Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni,
Teori-teori Belajardan Pembelajaran, Jakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 47 Th 2010.
……………………………….
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Teori
Manajemen keuangan pendidikan sekolah dasar
ialah segenap usaha
dalam rangka perencanaan sumber-sumber
keuangan, pembukuan
penggunaan keuangan, pemeriksanaan keuangan,
dan pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan secara efektif dan
efisien sehingga dapat
menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan
belajar-mengajar di sekolah.
Ruang lingkup sekolah meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1.
Membuat rancangan anggaran (budgeting)
sekolah. Setiap tahun
kepala sekolah dibantu oleh guru dan Komite
sekolah harus membuat
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Sekolah (RAPBS) atau
Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Rencana ini harus
disahkan dan ditanda tangani oleh Kepala
Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah Sekolah, RAPBS atau RKAS.
2.
Melakukan pembukuan (accounting) penggunaan
keuangan sekolah.
Sebagai bendaharawan sekolah, kepala
sekolah memiliki tugas
menerima, menyimpan, mengeluarkan dan
mempertanggungjawabkan
uang atau barang kekayaan negara, maka
perlu membukukan sebagai
pedoman dasar dalam pelaporan dan
pertanggungjawabannya.
3.
Melakukan pemerikasaan (auditing) keuangan
sekolah. Karena
pekerjaan kepala sekolah menyangkut kekayaan
negara, sehingga
setiap saat keadaannya harus siap diperiksa
dan keadaannya selalu
cocok dengan kenyataannya.
4.
Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan.
Pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan merupakan tahap
akhir dari
pengelolaan keuangan.
Penggunaan anggaran dan keuangan sekolah,
dari sumber manapun,
apakah itu dari pemerintah, ataupun dari
masyarakat perlu didasarkan pada
Manajemen Keuangan pada Sekolah Dasar
|
2
prinsip-prinsip umum pengelolaan keuangan.
Implementasi prinsip-prinsip
pada
penyusunan anggaran pendidikan sekolah, maka sumber dana
sekolah, seharusnya tidak hanya diperoleh
dari anggaran dan fasilitas dari
pemerintah atau penyandang dana tetap saja,
tetapi juga diperoleh dari
sumber dana dari masyarakat. Dengan
demikian peran serta masyarakat
dalam bidang masyarakat penyelenggaraan
pendidikan dapat dioptimalkan
sesuai dengan prinsip-prinsip Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS).
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan RAPBS adalah
harus menerapkan prinsip anggaran
berimbang, yaitu rencana pendapatan
dan pengeluaran harus berimbang, diupayakan
tidak menjadi anggaran
pendapatan minus. Langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam
penyususnan RAPBS sebagai berikut: 1)
menginventarisasi rencana yang
akan dilaksanakan, 2) menyusun rencana
berdasarkan skla prioritas
pelaksanaannya, 3) menentukan program kerja
dan rincian program, 4)
menetepkan kebutuhan untuk pelaksanaan
rincian program, 5) menghitung
dana yang dibutuhkan, dan 6) menentukan
sumber dana untuk membiayai
rencana.
Dalam setiap anggaran yang disusun untuk
kegiatan-kegiatan di
lingkungan sekolah, paling tidak harus
memuat 6 hal informasi sebagai
berikut:
1.
Informasi rencana kegiatan: sasaran, uraian
rencana kegiatan,
penanggungjawab, rencana baru atau lanjutan.
2.
Uraian kegiatan program, program kerja,
rincian program
3.
Informasi kebutuhan: barang/jasa yang
dibutuhkan, volume
kebutuhan.
4.
Data kebutuhan harga satuan, jumlah biaya
yang diperlukan untuk
seluruh volume kebutuhan
Manajemen Keuangan pada Sekolah Dasar
|
3
5.
Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk
masing-masing rincian
program, program, rencan kegiatan, dan total
anggaran untuk
seluruh rencana kegiatan periode terkait,
dan
6.
Sumber dana: total sumber dana,
masing-masing sumber dana yang
mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatan sekolah, jumlah
yang direalisasikan bisa
terjadi tidak sama dengan anggarannya, bisa
kurang atau lebih dari jumlah
yang telah dianggarkan. Perbedaan ini harus
dianalisis faktor penyebab
dan apabila terjadi revisi RAPBS masih
dapat berjalan. Perbedaan antara
realisasi pengeluaran dengan anggarannya
dapat terjadi karena sebab
berikut:
1.
Adanya efisiensi atau inefisiensi
pengeluaran
2.
Terjadinya penghematan atau pemborosan
3.
Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai
dengan yang telah di
programkan
4.
Adanya perubahan perubahan harga yang tidak
terantisipasi
5.
Penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Managemen keuangan harus digunakan sesuai
dengan kepentingan
sekolah beserta warga sekolah agar dalam
pelaksanaan pengembangan
keuangan dapat terealisasi dengan baik dan
lancar. Oleh karena itu, kepala
sekolah dan komite sekolah diharapkan mampu
mengelola keuangan
dengan tepat agar menunjang pendidikan di
sekolah tersebut.
Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika
yang dekat dengan administrasi
publik pemerintahan yang mempunyai beberapa
arti antara lain. Akuntabilitas
sering digunakan secara sinonim dengan
konsep-konsep seperti yang dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility),
yang dapat dipertanyakan
(answerability), yang dapat dipersalahkan
(blameworthiness) dan yang
mempunyai ketidakbebasan (liability).
………………………
Manajemen keuangan merupakan salah satu
substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di
sekolah. Sebagaimana yang terjadi di
substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan
dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu
memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan,
pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)
Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen
keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi
pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai
dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban
keuangan sekolah.
B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka
kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya,
dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program
sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penggunaan keuangan sekolah
Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
keuangan sekolah.
Meminimalkan penyalahgunaan anggaran
sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana,
menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban
keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu
memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan
bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga
perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut,
yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan.
Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan
berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu
keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan
pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan
dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam
penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu
transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah,
masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas
diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana
anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan
pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa
saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang
tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang
tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini
menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2.
Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang
dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan
tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di
dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka
pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban
dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar
utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya
transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan
mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar
kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi
dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana
kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah,
biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3.
Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan
efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti
sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan
dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative
outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen
keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan
dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan
lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan.
4.
Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil
suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs”
(Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan
(input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud
meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat
dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu,
tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau
penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil
yang ditetapkan.
Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui
hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat
dilihat pada gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya
dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan
daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D
menunjukkan paling tidak efisien.
b. Dilihat dari segi hasil
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau
dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil
sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari
gambar berikut ini:
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya
tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan
waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan
waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang
tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara
memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
=====================
Diambil
dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah.
Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
=====================
Daftar Rujukan
Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan
Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to Educational Administration. 5th
edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc
Departemen Pendidikan Nasional. 2002.
Manajemen Keuangan. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta:
Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama
Direktorat Pendidikan Dasar. 1995/1996.
Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar.
Ditdikdasmen Depdikbud
Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T.
1991. School-Based Leadership: Callenges and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C.
Brown Publishers
Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992.
Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan
Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama
Koontz, Harold dan O’Donnel, Cryill. 1984.
Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. Third Edition.
New York: McGraw-Hill Book Company.
Manullang, M. 1990. Dasar-dasar Manajemen.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku
Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas. Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya
Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutarsih, Cicih. Tanpa tahun. Administrasi
Keuangan Sekolah. Jakarta:
Swastha, Basu. 1985. Azas-azas Manajemen
Modern. Yogyakarta: Liberty.
Timan, Agus, Maisyaroh, Djum Djum Noor
Benty. 2000. Pengantar Manajemen Pendidikan. Malang: AP FIP Universitas Negeri
Malang.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama
Undang-undang No 22 tahun 1999, yang
direvisi dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Widjanarko, M. dan Sahertian, P.A.
1996/1997. Manajemen Keuangan Sekolah. Bahan Pelatihan Manajemen Pendidikan
bagi Kepala SMU se- Indonesia di
Malang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang
akan turut menentukan berjalannya
kegiatan pendidikan di sekolah.
Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya,
kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan
sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggung
jawaban. Kata “manajemen” (management) mempunyai beberapa arti, tergantung pada
konteksnya. Dalam bahasa Inggris, management berasal dari kata kerja to manage
yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti mengurus, mengatur, mengemudikan,
mengendalikan, mengelola, menjalankan melaksanakan dan memimpin.[1] Ada
beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian manajemen keuangan, antara
lain:
a.
Menurut Tim Dosen UPI Manajemen pendidikan merupakan proses manajemen
dalam pelaksanaan tugas pendidikan dengan mendayagunakan segala sumber secara
efisien untuk mencapai tujuan yang efektif.[2]
b.
Menurut Silalahi manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengisian staf, pemimpinan, dan pengontrolan untuk optimasi penggunaan
sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan organisasional
secara efektif dan efisien”.[3]
c.
Menurut Syarifudin manajemen adalah proses bekerja sama antara individu
dan kelompok serta sumber daya yang lainnya dalam mencapai tujuan organisasi
sebagai aktivitas manajemen.[4]
d.
Menurut Maysarah dikutip oleh Sulistyorini menjelaskan bahwa manajemen
keuangan adalah suatu proses melakukan kegiatan mengatur keuangan dengan
menggerakkan tenaga orang lain. Kegiatan ini dapat dimulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengawasan. Dalam manajemen
keuangan di sekolah tersebut dimulai dengan perencanaan anggaran sampai dengan
pengawasan dan pertanggung jawaban keuangan.[5]
e.
Menurut Depdiknas manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/
ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan,
pertanggungjawaban dan pelaporan. Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari
perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggungjawaban
keuangan sekolah.[6]
f.
Menurut Engkoswara sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan
bahwa manajemen pendidikan dalam arti seluas-luasnya adalah satu ilmu yang
mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan
secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang
turut serta dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.[7]
g.
Menurut Mulyasa Manajemen pendidikan pada hakikatnya menyangkut tujuan
pendidikan, manusia yang melakukan kerjasama proses sistemik dan sistematik,
serta sumber-sumber yang didayagunakan.[8]
Dari beberapa defenisi di atas penyusun
dapat simpulkan bahwa manajemen keuangan pendidikan merupakan kegiatan yang
dilakukan guna mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan dengan
mengembangkan dan mengelola sumber daya dan potensi-potensi yang dimiliki dalam
sistem pendidikan tersebut secara efektif dan efisien.
Institusi, organisasi, lembaga atau bahkan
diri manusia, dan termasuk juga sekolah membutuhkan adanya manajemen. Manajemen
digunakan sebagai rujukan untuk mengatur atau mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan subsistem dan menghubungkannya dengan lingkungan organisasi,
khususnya dalam pembinaan para anggotanya. Manajemen makin berkembang seiring
dengan semakin kompleksnya tatanan kehidupan baik dalam organisasi pemerintah
maupun lembaga-lembaga swasta karena tuntutan perkembangan zaman, manusia terus
berupaya untuk mendapatkan alat pemecahan yang tepat guna, terpadu dan komprehensif. Demikian pula agar
organisasi menjadi maju diperlukan
manajemen yang baik untuk menata segala bidang yang ada di dalam organisasi yang bersangkutan, pembinaan
terhadap anggota organisasi sebagai sumber daya manusia, bidang sarana dan
prasarana, bidang administrasi dan termasuk juga bidang keuangan.
Manajemen keuangan merupakan salah satu
substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di
sekolah. Sebagaimana yang terjadi di
substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan
dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. Beberapa kegiatan manajemen
keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan
dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggung jawaban.
2.2 Tujuan dan Fungsi Manajemen Keuangan
Pendidikan
Adapun tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk memperoleh, dan
mencari peluang sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan sekolah, agar bisa
menggunakan dana secara efektif dan tidak melanggar aturan, dan membuat laporan
keuangan yang transparan dan akuntabel. Di sinilah peran seorang manager
sekolah atau Kepala Sekolah untuk mengelola keuangan dengan sebaik mungkin
dengan memperdayakan sumber daya manusia yang ada di lingkungan sekolah Melalui
kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat
direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan
untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk
itu tujuan manajemen keuangan adalah[9]:
a.
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
b.
Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
c.
Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana,
menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban
keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.n Selanjutnya fungsi manajemen keuangan dalam pendidikan adalah untuk
melaksanakan kegiatan agar suatu tujuan tercapai dengan efektif dan efisien.
Secara tegas tidak ada rumusan yang sama dan berlaku umum untuk fungsi
manajemen.[10]
Adapun fungsi manajemen secara rinci adalah
sebagai berikut :
1.
Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah suatu proses penentuan
tujuan pedoman pelaksanaan, dengan memilih yang terbaik dari
alternatif-alternatif yang ada. Menurut Tim dosen administrasi pendidikan UPI
secara sederhana merencanakan adalah suatu proses merumuskan tujuan-tujuan,
sumber daya dan teknik atau metode yang terpilih.[11] Menurut Terry sebagaimana
dikutip oleh Syarifudin mengemukakan bahwa perencanaan adalah menetapkan
pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan yang
digariskan. Perencanaan mencakup pengambilan keputusan, karena termasuk
pemilihan alternatif-alternatif keputusan.[12]
Menurut Ramayulis bahwa dalam manajemen
pendidikan Islam, perencanaan itu meliputi penentuan prioritas agar pelaksanaan
pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh
komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat bahkan murid.
Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap
pelaksanaan dan hasil pendidikan. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap
rencana tindakan, penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok
kerja.[13] Dalam al-qur’an sendiri, Allah swt mengisyaratkan pentingnya
perencanaan dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian yang telah lalu untuk
merencanakan langkah-langkah ke depan. Allah swt berfirman :
تَعْمَلُونَ بِمَا
خَبِيرٌ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا لِغَدٍ قَدَّمَتْ مَا نَفْسٌ
وَلْتَنْظُرْ اللَّهَ اتَّقُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
"Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."[14]
Perencanaan selalu terkait masa depan, dan
masa depan selalu tidak pasti, banyak faktor yang berubah dengan cepat. Tanpa
perencanaan, sekolah atau lembaga pendidikan akan kehilangan kesempatan dan
tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang akan dicapai dan bagaimana
mencapainya. Oleh karena itu, rencana harus dibuat agar semua tindakan terarah
dan terfokus pada tujuan yang akan dicapai. Menurut Nanang Fattah dalam
perencanaan ada beberapa model perencanaan pendidikan, akan diuraikan satu
persatu sebagai berikut:[15]
a.
Model Perencanaan Komprehensif, Model ini terutama digunakan untuk
menganalisis perubahan-perbahan dalam system pendidikan secara keseluruhan.
Disamping itu berfungsi sebagai suatu patokan dalam menjabarkan rencana-rencana
yang lebih spesifik kearah tujuan-tujuan yang lebih luas.
b.
Model Target Setting, Model ini diperlukan dalam upaya melaksanakan
proyeksi ataupun memperkirakan perkembangan dalam kurun waktu tertentu.
c. Model Costing (Pembiayaan) dan
Keefektifan Biaya, Model ini sering digunakan untuk menganalisis proyek-proyek
dalam criteria efisien dan efektifitas ekonomis.
d.
Model PPBS (Planning, programming, budging, system), dalam bahasa
Indonesia adalah system perencanaan, penyusunan, program dan penganggaran
(SP4). Model ini bermakna bahwa perencanaan, penyusunan program dan
penganggaran dipandang sebagai suatu system yang tidak terpisahkan satu sama
lainnya.
2.
Organizing (Pengorganisasian)
Syarifudin menjelaskan bahwa
pengorganisasian merupakan upaya penentuan kerja melalui bagian-bagian tugas, wewenang sesuai ruang lingkup
keja.[16] Menurut Ramayulis Pengorganisasian dalam pendidikan islam adalah proses
penentuan struktur, aktivitas, interaksi, kordinasi, desain struktur, wewenang,
tugas secara transparan dan jelas. Dalam pendidikan Islam baik yang bersifat
individual, kelompok maupun kelembagaan. Pengorganisasian dan sistem manajemen
dalam pendidikan Islam merupakan implementasi dari perencanaan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dalam pengorganisasian ini perlu diperhatikan semua
kekuatan dan sumber daya yang dimiliki. Sumber daya tersebut mencakup sumber
daya manusia maupun sumber daya non manusia. Sumber daya manusia ditentukan
dalam struktur organisasi, tata dan pola kerja, prosedur dan iklim organisasi
secara transparan. Dengan demikian dalam aktivitas operasionalnya dapat
berjalan dengan teratur dan sistematis.[17]
Pengorganisasian adalah suatu proses
penentuan, pengelompokan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang
diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap
organisasi ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menempatkan wewenang
yang secara relatif di delegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan
aktivitas-aktivitas tersebut. Allah sendiri menyuruh kita untuk mengatur segala
aktivitas kita sesuai dengan kemampuan, sebagaimana firmannya:
تَعْلَمُونَ فَسَوْفَ
عَامِلٌ إِنِّي مَكَانَتِكُمْ عَلَى اعْمَلُوا قَوْمِ يَا قُلْ
”Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah
sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu
akan mengetahui”.[18]
3.
Pelaksanaan (Actuating)
Ada beberapa istilah yang sama dalam
pengertian actuating. Istilah tersebut adalah motivating (usaha memberikan motivasi
kepada seseorang untuk melaksanakan pekerjaan), directing (menunjukan orang
lain supaya mau melaksanakan pekerjaan), staffing (menempatkan seseorang pada
suatu pekerjaan dan bertanggung jawab pada tugasnya), dan leading (memberikan
bimbingan dan arahan kepada seseorang sehingga mau melakukan pekerjaan
tertentu).[19] Pergerakan dalam sistem manajemen pendidikan islam adalah
dorongan yang didasari oleh prinsip-prinsip religius kepada orang lain,
sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan
semangat.[20]
4.
Pengawasan (Controlling)
Menutut Nanang Fattah ada beberapa kondisi
yang harus diperhatikan supaya pengawasan dapat berfungsi efektif antara lain:
(a) Pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan dan kriteria yang dipergunakan
dalam sistem pendidikan yaitu: relevansi, efektivitas, efisiensi, dan
produktivitas; (b) Pengawasan harus disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan
organisasi; (c) Pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan.[21]
Menurut Ramayulis pengawasan didefinisikan sebagai peroses pemantauan yang
terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik
yang bersifat materil maupun spiritual.[22]
Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan di
lapangan sesuai dengan program dan mekanisme yang sudah diatur. Namun gaya
kepemimpinan seorang leader dalam mengontrol akan mempengaruhi kualitas
controlling tersebut. Sebagaimana pendapat Nanang Fattah di atas, bahwa fungsi
controlling yang dilakukan seorang leader harus berorientasi pada tujuan organisasi
yang telah ditetapkan.
2.3 Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan
Pendidikan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat
penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu
transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.[23] Berikut ini adalah
penjabarannya:
1.
Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan.
Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan
berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu
keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan
pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan
dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam
penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu
transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat,
orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas
diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana
anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan
pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa
saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang
tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang
tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini
menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2.
Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang
dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan
tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di
dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka
pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban
dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama
yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya
transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan
mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar
kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi
dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana
kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah,
biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3.
Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas lebih menekankan pada
kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas
kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif
outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4.
Efisiensi
Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik
antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya
yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut
dapat dilihat dari dua hal:
a.
Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya, Kegiatan dapat
dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang
sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
b.
Dilihat dari segi hasil, Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan
penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya
baik kuantitas maupun kualitasnya.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang
tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara
memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
2.4 Konsep dasar Manajemen keuangan
Pendidikan
1.
Manajemen Keuangan
Mulyasa mengatakan bahwa manjemen keuangan
sekolah merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan, yang secara
keseluruhan menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan secara efektif dan transparan.[24]
Tim dosen administrasi Pendidikan UPI menyatakan manajemen keuangan adalah
manajemen terhadap fungsi-fungsi keuangan. Sedangkan fungsi keuangan merupakan
kegiatan utama yang harus dilakukan oleh mereka yang bertanggung jawab dalam
bidang tertentu. Fungsi manajemen pendidikan adalah menggunakan dana dan
mendapatkan dana.[25]
Manajemen memiliki tiga tahapan penting
yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap penilaian. Ketiga tahapan
tadi apabila diterapkan dalam manajemen keuangan adalah menjadi tahap
perencanaan keuangan (budgeting), Pelaksanaan (Akunting) dan tahap penilaian
atau evaluasi (Auditing).
a.
Penganggaran (budgeting)
Penganggaran (budgeting) merupakan kegiatan
atau proses penyusunan anggaran. Budget merupakan rencana operasional yang
dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai
pedoman dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu
tertentu.[26] Lebih jauh Nanang Fatah menjelaskan dalam menentukan biaya satuan
pendidikan terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro.
Pendekatan makro mendasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran
pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian dibagi jumlah
murid. Pendekatan mikro mendasarkan perhitungan biaya berdasarkan alokasi
pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid.[27]
Morphet (1975) sebagaimana dikutip Mulyasa
menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penganggaran biaya
pendidikan adalah sebagai berikut[28] :
·
Anggaran belanja sekolah harus dapat mengganti beberapa peraturan dan
prosedur yang tidak efektif sesuai dengan kebutuhan pendidikan.
·
Merevisi peraturan dan input lain yang relevan, dengan mengembangkan
perencanaan sistem yang efektif.
·
Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus menerus dan
berkesinambungan sebagai bahan perencanaan tahap berikutnya.
Untuk mengefektifkan pembuatan perencanaan
keuangan sekolah, maka yang sangat bertanggung jawab sebagai pelaksana adalah
kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu mengembangkan sejumlah dimensi
pengembangan administrative. Dalam hubungan ini penyusunan RAPBS memerlukan
analisis masa lalu dan lingkungan ekstern
yang mencakup kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang
(opportunities) dan ancaman (threats).[29]
b.
Pelaksanaan (Akunting)
Akunting adalah bahasa yang digunakan untuk
menggambarkan hasil kegiatan ekonomi.[30] Menurut Mulyasa dalam pelaksanaan
keuangan sekolah dalam garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam dua kegiatan,
yakni penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan keuangan sekolah dari
sumber-sumber dana perlu dibukukan berdasarkan prosedur pengelolaan yang
selaras dengan kesepakatan yang telah disepakati, baik berupa konsep teoritis
maupun peraturan pemerintah.[31]
c.
Evaluasi (Auditing)
Auditing adalah proses pengumpulan dan
pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu
entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat
melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan.[32] Sedangkan menurut
Mulyasa dalam evaluasi keuangan sekolah, pengawasan merupakan salah satu proses
yang harus dilakukan dalam manajemen pembiayaan berbasis sekolah. Dalam
keuangan manajemen sekolah, kepala sekolah perlu melakukan pengendalian
pengeluaran keuangan sekolah selaras dengan anggaran anggaran belanja yang
telah ditetapkan.[33] Menurut Nanang Fattah secara sederhana proses pengawasan
terdiri dari tiga kegiatan, yaitu
memanatau (monitoring), menilai dan melaporkan.[34]
Proses evaluasi ini dilakukan untuk agar
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan manajemen keuangan berjalan secara
efektif dan efisien dan tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam
prosesnya. Di sinilah seorang kepala sekolah harus memantau dan menilai
hasilnya. Ada beberapa jenis-jenis Auditing :
1)
Audit Laporan Keuangan, Audit laporan keuangan bertujuan menentukan
apakah laporan keuangan secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur
yang akan diverifikasi,telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria
tertentu.
2)
Audit Operasional, Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian
manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai
efisiensi dan efektitasnya.Umumnya, pada saat selesainya audit
operasional,auditor akan memberikan sejumlah saran kepada manajemem untuk
memperbaiki jalannya operasi lembaga.
3)
Audit Ketaatan, Audit ketaatan bertujuan mempertimbangkan apakah
auditi(klien) telah mengikuti prosedur atau aturan tertentu yang telah
ditetapkan pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi.Suatu audit ketaatan pada
lembaga(perusahaan) swasta,dapat termasuk penentuan apakah para pelaksana akuntasi
telah mengikuti prosedur yang telah ditetepkan oleh lembaga.Contoh peninjauan
tingkat upah,pemeriksaan perjanjian dengan pihak lain (seperti bank/kreditor),
dan memenuhi ketentuan hokum yang berlaku.
2.
Manajemen Pembiayaan Pendidikan
a.
Pengertian biaya pendidikan
Biaya pendidikan diartikan sebagai sejumlah
uang yang dihasilkan dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan
pendidikan yang mencakup gaji guru, peningkatan kemampuan profesional guru,
pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang belajar, pengadaan
parabot/mebeler, pengadaan alat-alat pelajaran, pengadaan buku-buku pelajaran,
alat tulis kantor, kegiatan ekstakulikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan,
dan supervisi pembinaan pendidikan serta ketataushaan sekolah.[35] Secara
teoritis, konsep biaya di bidang lain mempunyai kesamaan dengan bidang
pendidikan, yaitu lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan
yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang lulusan.
Dana (uang) memainkan peran dalam
pendidikan dalam tiga area; pertama, ekonomi pendidikan dalam kaitannya dengan
pengeluaran masyarakat secara keseluruhan; kedua, keuangan sekolah kaitannya
dengan kebijakan sekolah untuk menerjemahkan uang terhadap layanan kepada
peserta didik; dan ketiga, pajak administrasi bisnis sekolah yang harus
diorganisir secara langsung berkaitan dengan tujuan kebijakan.[36] Pusat
perhatian mendasar dari konsep ekonomi adalah bagaimana mengalokasikan sumber-sumber
terbatas untuk mencapai tujuan yang beraneka ragam mungkin tak terhingga.
Biaya pendidikan merupakan dasar empiris
untuk memberikan gambaran karakteristik keuangan sekolah. Analisis efisiensi
keuangan sekolah dalam pemanfaatan sumber-sumber keuangan sekolah dan hasil
(out put) sekolah dapat dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit
cost) per siswa. Biaya satuan per siswa adalah biaya rata-rata persiswa yang
dihitung dari total pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di sekolah
(Enrollment) dalam kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui besarnya biaya
satuan per siswa menurut jenjang dan jenis pendidikan berguna untuk menilai
berbagai alternatif kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.[37]
b.
Jenis-jenis Pembiayaan Pendidikan
Menurut Nanang Fattah Biaya dalam
pendidikan meliputi biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung
terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan
pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat belajar, biaya
transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua
maupun siswa itu sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung adalah berupa
keuntungan yang hilang (earning forgane) dalam bentuk biaya kesempatan yang
hilang (opportunity cost) yang dikorbankan siswa selama belajar.[38]
c.
Sumber-sumber Biaya Pendidikan
Dalam hal menghimpun dana (raising funds),
dana pada dasarnya dapat digali dari dua sumber, yaitu berasal dari dalam
lembaga sendiri (intern) dan melalui pihak luar (ekstern). Di antaranya adalah
sebagai berikut :
1)
Pemerintah dan masyarakat
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan nomor
20 tahun 2003 pasal 46 ayat 1 dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dalam pasal 49 ayat 3 juga dijelaskan bahwa dana dari pemerintah tersebut
berbentuk hibah untuk satuan pendidikan. Berdasarkan Undang-undang diatas,
jelaslah bahwa sumber utama bagi pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah yang
di dukung oleh masyarakat. Masyarakat harus pro aktif dalam mensukseskan proses
pendidikan baik dengan membantu secara finansial maupun membantu dalam
menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif.
2)
Wakaf
Wakaf adalah sumbangan dalam pengertian umum merupakan hadiah yang
diberikan untuk memenuhi banyak kebutuhan spiritual dan temporal kaum muslimin.
Dana-dana yang diperoleh dari sumbangan tersebut digunakan untuk membangun dan
merawat tempat ibadah, mendirikan sekolah dan rumah sakit, menafkahi para ulama
dan da’i, mempersiapkan kebutuhan kaum muslimin dan memasok senjata bagi para
pejuang yang berperang di jalan Allah.[39] Salah satu sumber dana bagi
pendidikan islam ialah wakaf dari orang islam. Wakaf berasal dari amal dengan
cara memanfaatkan harta, dan harta itu harus dikekalkan, atau yang digunakan
adalah hasil harta itu, tetapi asalnya tetap. Dengan melihat definisi ini saja
kita sudah menangkap bahwa biaya pendidikan yang berasal dari wakaf pasti amat
baik karena biaya itu terus menerus dan modalnya tetap. Ini jauh lebih baik
dari pada pemberian uang atau bahan yang habis sekali pakai.
3)
Zakat
Pendidikan termasuk ke dalam kepentingan
sosial, sudah sepantasnya zakat dapat dijadikan sumber dana pendidikan. Dana
zakat harus dikelola secara profesional dan transparan agar sebagiannya dapat
dipergunakan untuk membiayai lembaga pendidikan islam.
4)
Sumber dana lain yang tidak mengikat
Menurut Ramayulis sumber dana bagi lembaga
pendidikan islam bisa berasal dari sumber lainnya, baik sumber intern maupun
sumber ekstern. Sumber dana yang bersifat intern ini bisa diperoleh dari
pembentukan badan usaha atau wirausaha, membentuk lembaga Badan Amil Zakat
(BAZ) maupun dengan melakukan promosi dan kerjasama dengan berbagai pihak yang bisa
menunjang dana kegiatan. Sedangkan sumber dana yang bersifat internal bisa
diperoleh dari donatur tetap ataupun bantuan
2.5 Problematika Manajemen Keuangan Sekolah
Manajemen keuangan sekolah tidak luput dari
berbagai masalah. Di antara masalah-masalah tersebut adalah, penyalahgunaan
keuangan untuk memperkaya diri (korupsi), membebankan pembiayaan kepada siswa
didik, pelaporan keuangan yang penuh manipulasi, pembelanjaan keuangan yang
tidak tepat guna, dan lain sebagainya. Dari masalah-masalah yang telah
disebutkan akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:
a.
Penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri (korupsi)
Korupsi memang sudah menjamur di mana-mana,
baik instansi swasta maupun negeri, termasuk juga di sekolah. Korupsi adalah
tindakan memperkaya diri dengan berbagai cara yang melanggar aturan hukum.
Korupsi di sekolah sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi yang
seringkali terjerat dalam kasus korupsi biasanya adalah kepala sekolah dan
bendahara. Kepala sekolah sebagai manajer memiliki keleluasaan dalam
mengendalikan uang. Kebijakan-kebijakan yang di keluarkan kadang-kadang tidak
sesuai dengan apa yang sudah direncanakan dalam Rencana Anggaran Belanja
Sekolah.
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch
(ICW) sepanjang tahun 2007 hingga 2010 membuktikan bahwa korupsi di ranah
sekolah ternyata sangat menggiriskan. Menurut Ade Irawan, Kepala Divisi
Monitoring Pelayanan Publik ICW, masalahnya terletak pada hubungan antara
sekolah dengan dinas pendidikan. Otonomi sekolah yang diwujudkan melalui
program Manajemen Berbasis Sekolah tidak benar-benar membuat sekolah
otonom.[40] Sayangnya korupsi di tingkat sekolah seringkali dibiarkan oleh
aparat penegak hukum. Sebab, konon jumlahnya tergolong kecil sedangkan para
aparat sedang berupaya menjaring para koruptor kakap. Memang sudah kacau balau
negeri ini. jika koruptor-koruptor kelas teri dibiarkan, maka sama saja dia
sedang dibiaran untuk berlatih korupsi. Dan bagaimana jika dianalogikan,
sepuluh teri sama dengan satu kakap. Dan bukankah biasanya, korupsi di sekolah
sangat merugikan negeri ini dalam jangka panjang, karena sekolah sebagai
pencetak generasi penerus bangsa.
b.
Membebankan pembiayaan kepada siswa didik
Anggaran dari pemerintah sebesar 20%
teranya masih sangat kurang. Buktinya, hampir semua sekolah mengadakan pungutan
kepada siswa. Jumlah pungutannya beragam, ada yang ringan, ada pula yang luar
biasa besar. Pungutan-pungutan tersebut terkadang dibuat oleh pihak sekolah dan
pengurus komite. Biasanya, pengurus komita sudah kong kali kong dengan pengurus
sekolah, dan kemudian dipasrahi agar bagaimana semua wali siswa menyetujui
anggaran yang sudah direncanakan ketika diadakan rapat yang mengundang semua
wali siswa. Perlu dicatat, biasanya pengurus komite mendapatkan honor
bulanan dari sekolah, dan anehnya, honor
kerap membuat para pengurus komite menjadi kehilangan daya kritisnya.
Semestinya, pengurus komite bisa bersikap kritis, sehingga dana yang dibebankan
kepada siswa bisa diperingan dengan cara menghilangkan pengeluaran-pengeluaran
yang tidak diperlukan, dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang gendut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang
akan turut menentukan berjalannya
kegiatan pendidikan di sekolah.
Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya,
kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.
Adapun tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk memperoleh, dan mencari
peluang sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan sekolah, agar bisa menggunakan
dana secara efektif dan tidak melanggar aturan, dan membuat laporan keuangan
yang transparan dan akuntabel.
Ada beberapa prinsip manajemen keuangan
sekolah, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
Prinsip-prinsip manajemen tersebut ternyata tidak diterapkan di semua sekolah.
Ada beberapa masalah dalam manajemen keuangan sekolah antara lain:
penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri (korupsi), membebankan pembiayaan
kepada siswa didik, pelaporan keuangan yang penuh manipulasi, pembelanjaan
keuangan yang tidak tepat guna, dan lain sebagainya. Masalah-masalah tersebut
harus mendapatkan perhatian, khsususnya dari pemerintah dan komite sekolah,
sehingga tidak menghambat dan merugikan banyak pihak.
3.2 Kritik dan Saran
Dari hasil makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat
bagi kita semua umumnya kami pribadi. Dan dapat kita ambil ibrah supaya kita
memperbaiki system amnejemen keuangan pendidikan. Dan segala yang baik
datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari diri saya. Dan saya sedar
bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari
berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun,
untuk perbaikan karya ilmiah selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
AL-Quran dan terjemahnya
Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia.
(Jakarta: PT. Gramedia: Jakarta, 2005.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009).
Silalahi, Ulbert, Pemahaman Praktis
Asas-asas Manajemen. (BandungMandar Maju: Bandung, 2002).
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005).
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, (
Yogyakarta: Teras, 2009).
Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).
Jusuf, Kadarman, Pengantar Ilmu Manajemen,
( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Romayulis, Manajemen Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008)
Fatah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Materi Pembinaan
Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. 2007. Departemen Pendidikan Nasional.
Situs:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d528dc2163d1/model-korupsi-di-sekolah-semakin-canggih.
diunduh 17 Desember 2013.
[1] Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia.
(Jakarta: PT. Gramedia: Jakarta, 2005), hal: 372
[2] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009). Hal: 87
[3] Ulbert Silalahi, Pemahaman Praktis
Asas-asas Manajemen. (BandungMandar Maju: Bandung,2002), hal: 4
[4] Syafaruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 41
[5] Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam,
( Yogyakarta: Teras, 2009) Hal: 130-131
[6]Akhmad Sudrajat, Konsep dasar manajemen
keuangan sekolah, diunggah 17 desember 2013.
[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 8
[8] Ibid, hal: 9
[9] Kadarman Jusuf, Pengantar Ilmu
Manajemen, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992) hal: 18
[10] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009). Hal: 92
[11] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas
Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 94
[12] Syafaruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 14
[13] Romayulis, Manajemen Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal:
271
[14] Al-Qur’an dan terjemahnya, surah
al-Hasyr, ayat: 18
[15] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 50-56
[16] Syafaruddin, Manajemen Lembaga
Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 19
[17] Romayulis, Manajemen Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal:
272
[18] Al-Qur’an dan terjemahnya surah
al-Zumar ayat : 39
[19] Romayulis, Manajemen Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal:
273
[20] Ibid, hal: 274
[21] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 106-107
[22] Romayulis, Manajemen Pendidikan.,,,
hal: 274
[23] Direktorat Tenaga Kependidikan.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Materi
Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. 2007. Departemen Pendidikan
Nasional., hlm. 9-17
[24] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 194
[25] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009). Hal: 256
[26] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 47
[27] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 26
[28] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 196
[29] Nanang Fatah, Ekonomi dan.,,, hal: 54
[30] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009). Hal: 265
[31] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis.,,,
hal: 201
[32] Tim Dosen Administrasi Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2009). Hal: 265
[33] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 205
[34] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 66
[35] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 112
[36] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 195
[37] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan,…
hal: 25
[38] Ibid, hal: 23
[39] Romayulis, Manajemen Pendidikan Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal:
293
[40] Dikutip dari sebuah situs: dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d528dc2163d1/model-korupsi-di-sekolah-semakin-canggih.
diunduh 17 Desember 2013
1 Response to "PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN MASA DATANG "
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^
Posting Komentar