PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN MASA DATANG



Problematika Pendidikan Islam

PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN MASA DATANG



A.  Latar Belakang Masalah

Agama Islam yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad SAW, mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu kedua fenomena perkembangan, yaitu; 1.  Potensi psikologis dan pedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya.

2.  Potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsive terhadap lingkungan sekitarnya[1][1].

Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut, maka diperlukan usaha kependidikan yang sistematis berencana berdasarkan pendekatan dan wawasan yang interdisipliner. Karena manusia semakin terlibat ke dalam proses perkembangan sosial itu sendiri menunjukkan adanya interelasi dan interaksi dari berbagai fungsi.

Agama Islam yang membawa nilai-nilai dan norma-norma kewahyuan bagi kepentingan hidup manusia di atas bumi, baru aktual dan fungsional apabila di internalisasikan ke dalam pribadi melalui proses kependidikan yang konsisten, terarah kepada tujuan. Oleh karena itu proses kependidikan Islam memerlukan konsep-konsep yang pada gilirannya dapat dikembangkan menjadi teori-teori yang terpuji dan praksisasi dilapangan operasional. Bangunan teoritis kependidikan Islam itu akan berdiri tegak diatas fondasi pandangan dasar yang telah diwahyukan oleh Tuhan. Wahyu-Nya terus berkembang mengacu kepada tuntunan masyarakat yang dinamis-konstruktif menuju masa depan yang sejahtera dan maju.

Dengan demikian, pendidikan Islam diharapkan tidak saja sebagai penyangga nilai-nilai, tetapi sekaligus sebagai penyeru pikiran-pikiran produktif dan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman. Pendidikan Islam diharapkan tidak saja memainkan peran sebagai pelayan rohaniah semata, yaitu fungsi yang sangat sempit dan suplementer, tetapi juga terlibat dan melibatkan diri dalam pergaulan global[2][2].

Paul Tillich berpendapat bahwa setiap sistim pendidikan, idealnya memiliki orientasi yang bertujuan mengharmonikan tiga hal sekaligus[3][3], yaitu teknis, humanistis, dan induktif. ketiga hal ini sistim pendidikan Islam yang ada diharapkan tidak saja “melek” terhadap teknologi dan informasi, tetapi juga melapisi diri dengan kesadaran religius agar tidak terjadi split personality dan split integrity oleh penetrasi perkembangan global yang menyusup ke seluruh ruang kehidupan manusia. Namun, massivitas (keseluruhan) fenomena teknologi informasi global ini tidak seluruhnya mampu diserap oleh sistim pendidikan Islam khususnya dan umat Islam pada umumnya. lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren sebagai artikulasi sistim pendidikan Islam di Indonesia, kiranya mengalami ketertinggalan lebih jauh bila dibandingkan dengan sistim pendidikan modern di negara-negara lain, misalnya Malaysia, Singapura, Australia dan apalagi Amerika.

Suatu ironi yang harus diakui umat Islam bersama luasnya konsep al-Qur’an tentang pendidikan adalah pelekatan identitas tertinggal, terbelakang dan miskin identitas. Ketertinggalan itu sedikitnya bisa dilihat dari eksistensi madrasah dan pesantren yang dulu memiliki peran strategis dalam menghantarkan pembangunan masyarakat Indonesia, kini antusias masyarakat untuk memasuki pendidikan madrasah dan pesantren mengalami penurunan yang cukup drastis. Kecuali pada pesantren yang mampu melakukan adaptasi dengan perkembangan global. Sikap pesimisme masyarakat terhadap pendidikan madrasah dan pesantren bisa dilihat dari adanya kekhawatiran universal terhadap kesempatan lulusannya memasuki lapangan kerja modern yang hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kemampuan keterampilan dan penguasaan teknologi.

B.   Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1.   Bagaimana problematika pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan datang ?

2.   Bagaimana prospek pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan datang?

C.  Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini yaitu:
Untuk mengetahui problematika pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan datang.
Untuk mengetahui prospek pendidikan Islam dulu, kini, dan masa yang akan datang.

PEMBAHASAN

A.  Problematika Pendidikan Islam dulu, Kini dan Masa yang akan Datang.

1.   Problematika Dasar Pendidikan Islam

Ketertinggalan pendidikan Islam telah sedemikian parahnya. Hal ini mengundang keprihatinan yang mendalam dan menyisahkan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang melatar belakangi keadaan tersebut. Seperti; apakah karena adanya SDM ? ataukah karena adanya aspek-aspek yang terkait dengan  persoalan teologi dan kultur masyarakat muslim Indonesia yang cenderung jumud dan ortodoks ? Ataukah akibat dari problem strukturalis yang diskriminatif terhadap keberadaan pendidikan Islam yang lulusannya cenderung tidak produktif ? Atau mungkin karena akumulasi dari berbagai persoalan tersebut ?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebenarnya pada masa lampau   pendidikan Islam pernah menjadi tumpuan utama bagi masyarakatnya dan perkembangannya senantiasa seirama dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada masanya. Dalam catatan sejarah, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar islam yang kemudian berkembang menjadi pengajian di langgar-langgar, masjid dan pondok pesantren. Pendidikan Islam memang dapat diterima seiring dengan jalannya pertumbuhan Islam pada waktu itu.

Demikian pula pada masa kolonial Belanda dan Jepang, sistim pendidikan Islam tetap bertahan dan dapat menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan. Namun, pasca era kemerdekaan sampai sekarang dinamika pertumbuhan sistim pendidikan Islam cenderung menurun dan kurang dapat mengimbangi kebutuhan obyektif masyarakat, sebagaimana yang dikatakan AM Saefuddin sebagai berikut: “Pada masa selanjutnya muncullah bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan materi pendidikan agama kedalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh kolonial Belanda. Pada masa selanjutnya, yakni ketika bangsa Indonesia memasuki alam kemerdekaan, maka bentuk-bentuk sistim pendidikan Islam baik pesantren, madrasah maupun disekolah-sekolah umum terus berlanjut, tetapi dengan perkembangan yang tampaknya menunjukkan ketertinggalan dari perkembangan masyarakatnya sendiri [4][4].

Namun apapun yang terjadi, cara pandang yang terlalu merendahkan martabat pendidikan Islam jelas kontra produktif, apalagi hal yang menjadi tolak ukur adalah kemajuan di Barat. Ketertinggalan dalam pendidikan Islam haruslah dilihat sebagai tantangan. Orientasi ini menjadi demikian penting agar terhindar dari munculnya problem baru yang lebih serius. Artinya, apabila melihat ketertinggalan pendidikan Islam ini dengan rasa rendah diri, maka dengan sendirinya telah mengawali problem baru.

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai tantangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: Pertama adalah pengembangan potensi manusia. Mengembangkan potensi manusia dalam pandangan pendidikan Islam merupakan tantangan yang bersifat holistik, berkesinambungan dan tanpa akhir. Kedua, membahas tentang kegagalan dari para pemikiran Barat dalam membangun konsep tentang sifat asal manusia yang tidak dipandu oleh wahyu[5][5]. Ketiga, membahas tentang tantangan budaya fatalistik dari kaum muslimin sendiri. Keempat, membahas tentang munculnya ancaman di era abad 21, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor perubahan sosial[6][6].

2.   Problematika Institusional Kekinian

Perubahan sosial yang terjadi secara simultan dalam masyarakat, pada gilirannya akan merangsang munculnya berbagai permasalahan dalam lembaga pendidikan Islam, diantaranya adalah problem lulusan LPI dengan tuntutan dunia industri, kualitas SDM dan lingkup LPI, masalah keilmuan Islam yang dilematis dan ambivalensi penyelenggaraan pendidikan Islam.

Semua hal tersebut merupakan permasalahan-permasalahan yang sangat penting untuk segera dicarikan solusinya. Namun, problem yang lebih mendasar untuk dipecahkan adalah dua persoalan terakhir, karena kedua persoalan itu dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam pada masa kini maupun masa datang. Apabila kedua problem tersebut kurang mendapat tanggapan dimungkinkan masa depan pendidikan Islam hanya tinggal nama, karena telah ditinggalkan oleh masyarakat yang aktif mengikuti perubahan.

            
a.      Keilmuan Islam yang Dilematis

Masalah keilmuan Islam secara historis prespective dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekontruksi pemikiran Islam secara umum dan pemikiran Islam secara khusus. Arus besar itu           adalah warisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan akses negatif terhadap epistemologi keilmuan            dalam Islam, pintu ijtihad pun tertutup. dampak dari stagnasi pemikiran tersebut membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi (syarah, hasyiyah), termasuk dalam bidang penafsiran maupun dalam bidang muamalat.

Dalam bidang penafsiran Islam memang dapat memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metodenya. Namun, sayang sebagian besar berisi pengulangan yang ada. sebagaimana juga dijelaskan Nasr hamid Abu Zaid tentang keadaan tersebut sebagai berikut: “pada saat ini sikap dan wacana keagamaan kontemporer terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an dan demikian pula ilmu-ilmu hadis adalah sikap         pengulangan. Hal ini terjadi karena diantara ulama ada yang mempunyai asumsi bahwa dua tipe ilmu tersebut masuk dalam ilmu yang sudah matang dan sudah selesai, sehingga generasi kemudian tidak lagi memiliki apapun seperti yang dimiliki oleh generasi tua[7][7].

Nasr hamid Abu Zaid menambahkan bahwa stagnasi pemikiran di dunia Islam ini dipengaruhi oleh apa yang disebutnya sebagai peradaban teks (Hadharah al-Nash).[8][8] Peradaban teks menurutnya merupakan sebuah peradaban dimana teks menjadi semacam poros penggerak serta sekaligus sebagai pembentuk pengetahuan.[9][9] dalam peradaban demikian, tafsir teks           menjadi semacam kebutuhan utama dari waktu ke waktu senantiasa mewarnai tiap jengkal deretan sejarah Islam. Oleh karena itu, Islam dapat   memunculkan ribuan jilid kitab tafsir dengan berbagai corak dan metode,   mulai dari tahlili sampai maudhu’i.

Peradaban demikian akhirnya membawa implikasi luas serta memungkinkan terciptanya kultur yang serba berdimensi teks, termasuk dalam memandang kebenaran. Kebenaran selalu diukur dengan letterleks teks, tidak ada kebenaran di luar itu. Sekalipun manusia memungkinkan dapat memperoleh kebenaran sendiri melalui pencarian dengan daya nalarnya, ia tetap harus selalu mendapat rujukan dari teks. Kalau ia gagal dalam merujuk, maka apa yang dikatakan nalar sebagai kebenaran gagal pula. Sedangkan dampak kedua arus tersebut dalam dunia pendidikan Islam adalah terjadinya transformasi pada paradigma ilmu pendidikan Islam beserta epistemologinya dari Islamic education of islamic menjadi Islamic education for Moslem.
b.      Ambivalensi (dikotomi) Penyelenggaraan Pendidikan Islam

Sistim pendidikan Islam sampai saat ini dirasa masih bersifat ambivalensi. Sifat ambivalensi yang dimaksud adalah model penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia mengalami ketimpangan, dimana di satu pihak pendidikan agama yang diterapkan disekolah-sekolah umum hanya sekedar pelengkap, sedangkan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan pada sistim pendidikan          Islam (pesantren) kurang mengembangkan penguasaan disiplin ilmu (sains dan teknologi) dan keterampilan. Ada anggapan yang berkembang selama ini bahwa penguasaan disiplin ilmu dan keterampilan hanya garapan sistim pendidikan umum.

A. M Saefuddin menjelaskan bahwa sistim madrasah dan apalagi sekolah dari PT Islam yang membagi porsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan umum dalam prosentase tertentu telah terbukti mengakibatkan bukan saja pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya kepada tujuan Islam yang membentuk manusia takwa, tapi juga tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler. Sementara itu keadaan pendidikan Islam di sekolah PT umum, lebih jelas diketahui sebagai lebih banyak hanya berfungsi sebagai pelengkap yang menempel bagi orientasi pendidikan sekuler[10][10].

Keadaan itu timbul akibat adanya pandangan dikotomi yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam yang mengajarkan kesatuan dunia-akhirat, dimana ilmu-ilmu dunia adalah bagian dari ilmu-ilmu agama yang tidak boleh dipisahkan dengan pandangan dikotomis serta orientasi yang ambivalen. Apabila keadaan ini tetap dibiarkan, maka dapat dipastikan sistim pendidikan Islam hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan yang makin jauh dari cita-cita pendidikan Islam sendiri.

Perbedaan itu terjadi karena, selain sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik tolak. Jika ilmu agama berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum berangkat dari keraguan. Sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak seluruhnya benar, karena masing-masing menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.

Mengembalikan pemahaman parsial adanya dualitas keilmuan ini ke arah integrasi kiranya membutuhkan keberanian serius dari pelbagai kalangan, pembacaan ulang visi, misi dan orientasi sistim pendidikan adalah suatu yang urgen bila tidak ingin terjebak pada pengulangan tradisi yang tak memiliki kemampuan menjawab persoalan-persoalan kekinian dan masa depan. Sekalipun persoalan yang mendasar bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada bagaimana menanamkan pemahaman holistik (kaffah) terhadap ajaran agama yang universal dan kosmopolit. Karena didalam ilmu sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin cepat, kompetitif dan berkualitas. 

Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam sesungguhnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum beriman untuk senantiasa ber-tafakkur (QS. Ali-Imran (3): 189-190) dan ber-tasyakkur (QS. An-Nahl (16): 114. Perintah memikirkan segala ciptaan Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukum-Nya di dalam Al-Qur’an mengandung pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran Tuhan.

Jadi, orientasi sains dan teknologi sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulul al-bab, yaitu seseorang yang dengan fikir dan zikirnya mampu melahirkan gagasan-gagasan imajinatif bagi peradaban manusia dan lingkungannya, disamping    memberikan penekanan pada nilai dan moral.

dengan demikian, tetaplah harus ditegaskan bahwa tanpa landasan             nilai-nilai agama, maka ilmu pengetahuan dan teknologi justru akan menjadi bumerang bagi manusia sendiri, karena itu persoalan kini adalah bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat menjadi milik yang dapat dikembangkan tanpa merasa khawatir akan efek bumerang dan terpecahnya kepribadian manusia oleh pandangan-pandangan dikotomis. Jalan yang kini terlihat menjadi titik terang adalah dengan melakukan proses Islamisasi sains dan teknologi.

kondisi semacam ini tentu saja harus dibaca sebagai tantangan yang harus segera diantisipasi secara lebih matang dan terencana serta     dituntut untuk memunculkan inovasi-inovasi[11][11] baru dan mendalam dari masyarakat akademik maupun yang lainnya, agar pendidikan Islam tetap bisa diterima oleh masyarakat yang juga terus menerus berubah.

Sejalan formulasi dan pemikiran kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari ikatan-ikatan konteks lingkungan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama, disamping unsur internal seperti bakat dan potensi yang merupakan unsur ketergantungan eksistensi pendidikan Islam. Imam Tholkhan berpendapat            bahwa problmatika pendidikan Islam kini dan masa datang, antara lain: Pertama, kurangnya kemampuan para lulusan (out puts) dari lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah, pesantren serta perguruan tinggi Islam di dalam menelaah teks-teks klasik secara utuh yang sebenarnya merupakan bagian integral dari kajian pokok yang harus dipelajari. Para lulusan madrasah, pesantren dan perguruan tinggi Islam tidak jarang tercerabut dari akar-akar tradisi, nilai dan kepercayaan yang dianutnya. Kedua, tidak semua lulusan lembaga pendidikan Islam mampu melaksanakan fungsi-fungsi layanan terhadap umat Islam, tak terkecuali hal yang paling mendasar dan memasyarakat seperti memimpin berbagai ritual keagamaan. Ketiga, adanya kecenderungan lulusan lembaga pendidikan Islam hanya berpikir normatif atau cenderung berpikir melalui kaedah keagamaan (deduktif) dan kurangnya mereka memahami konteks dan substansi empiris dari persoalan-persoalan keagamaan dan sosial yang dhadapi (induktif). Keempat, sistim pendidikan Islam yang ada sampai dewasa ini masih dinilai belum bisa menghasilkan manusia-manusia kompetitif di era global yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, posisi pendidikan Islam selalu diletakkan pada posisi marginal atau under class. Keenam, para lulusan lembaga pendidikan Islam belum terlatih untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman yang baru, baik dalam konteks kultur nasional maupun antar kultur, sebaliknya mereka hanya terlatih untuk menghafal dan mengulangi kembali pengetahuan yang baku dan kaku yang keberadaannya kurang relevan dengan perkembangan situasi dan kondisi. Ketujuh, para lulusan lembaga pendidikan Islam cenderung bersifat eksklusif dan belum mampu bekerja secara profesional. Kedelapan, adanya stigma bahwa lembaga pendidikan Islam itu sektarianisme yang dibungkus dengan kerangka ideologis, paham, dan kepercayaan serta kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kesembilan, sistim pendidikan Islam cenderung milik perseorangan atau kelompok tertentu dari pada milik bersama atau masyarakat.

Malik Fajar berpendapat bahwa untuk memecahkan problematika dunia pendidikan Islam sebagaimana digambarkan tersebut, maka perlu mengadakan konsep pendekatan, sebagai berikut:

1.          Macrocosmis (tinjauan makro), yakni pendidikan Islam dianalisis                                        dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas.

2.          Microcosmis (tinjauan mikro), yakni pendidikan Islam dianalisis                                          sebagai satu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi                                                 di dalam diri sendiri[12][12]. Hal ini berdasarkan surat Keputusan                                             Bersama Tiga Menteri[13][13]

Dan beliau menambahkan bahwa untuk menatap masa depan pendidikan Islam di Indonesia yang mampu memainkan peran strategisnya bagi kemajuan umat dan bangsa, perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar serta menyeluruh. Hal yang mendasar tersebut, antara lain: (a) kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah operasionalnya (b) penguatan dibidang sistim kelembagaannya (c) perbaikan/pembaruan dalam sistim pengelolaan atau manajemennya[14][14]. Kalau ketiga hal ini bisa dibenahi, maka dunia pendidikan Islam akan terhindar dari kesibukan “semu” dan setahap demi setahap akan bisa memenuhi pesan Sayyidina          Ali bin Abi Thalib r.a “Didiklah anak-anak kalian dengan hal-hal yang                    tidak seperti yang kalian pelajari diajarkan. Sesungguhnya mereka itu   diciptakan dalam zaman yang berlainan dengan zaman kalian. Artinya, suatu lembaga pendidikan harus membentuk wadah akomodatif terhadap aspirasi masyarakat pendidikan yang berorientasi ke masa depan.

B.   Prospek Pendidikan Islam Masa Kini dan Masa Datang

Meyakini pendidikan sebagai upaya yang paling mendasar dan strategis sebagai wahana penyiapan sumberdaya manusia dalam pembangunan (dalam arti luas) tentunya umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia terutama kaum cendikiawan harus terpanggil untuk menjadi pelopor. Paling tidak ada tiga hal yang menjadi dasar pembenaran, yaitu:

1.   Dari segi ajaran agama, Islam telah menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan          sebagai instrumen untuk meraih keunggulan hidup. Pandangan semacam ini amat       ditaati oleh manusia modern dewasa ini, terutama mereka yang bukan Islam.      Yaitu untuk meraih keunggulan kehidupan duniawi. Sedangkan Islam lebih dari    itu, yaitu bahwa penguasaan ilmu pengetahuan itu sebagai mediator untuk menuju        keunggulan dua kehidupan sekaligus, yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan   ukhrawi. Deskripsi ini amat jelas kalau merujuk kepada sabda Rasulullah SAW:        Barang siapa yang ingin unggul di dunia, harus dengan ilmu. Dan barang siapa       yang ingin unggul di akhirat, harus dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin unggul pada dua-duanya, juga harus dengan ilmu (HR. Ahmad)

2.   Dalam perkembangan sejarahnya, Islam telah cukup memberikan acuan dan     dorongan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Bahkan, adanya mata rantai yang erat antara kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh dunia Barat dewasa ini         dengan kemajuan di bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sebelumnya pernah      dicapai oleh dunia Islam. Karena memang diyakini oleh dunia bahwa Islamlah        yang mula-mula menyebarkan pemikiran Yunani klasik yang menjadi dasar      perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat dewasa ini. Adapun faktor penyebab adopsi sains dunia Islam oleh dunia Barat adalah karena mereka melakukan gerakan penerjemahan para sarjana Islam terhadap karya Yunani      klasik. Dan yang kalah pentingnya, yaitu terjadinya pemurtadan terhadap filosof           Islam lantaran menggandrungi pemikiran Yunani klasik tersebut.

3.   Umat Islam Indonesia cukup kaya dengan lembaga-lembaga pendidikannya.    Lembaga yang dimiliki ini adalah termasuk “Bank” sumber daya manusia yang             tak ternilai harganya. Memang masalahnya kepada umat Islam itu sendiri, yaitu          seberapa jauh mereka mampu mengangkat ajaran Islam dan sekaligus menjadikan   lembaga-lembaga pendidikannya sebagai wahana penyiapan sumber daya      pembangunan. Untuk itu, kiranya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus         semakin menyadari akan posisinya dalam upaya membuat satu komitmen strategi,           yaitu menjadikan dirinya sebagai “Bank” sumber daya manusia itu.

Disamping itu dalam era globalisasi ini terdapat peluang-peluang, karena adanya suasana yang lebih terbuka dan saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan globalisasi itu sudah dirasakan keberadaannya dan sedang berlangsung dalam aspek kehidupan manusia, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

Adapun peluang sistim pendidikan Islam di Indonesia, antara lain:

a.    Sistim pendidikan Islam Indonesia tidak mendominasi sistim pendidikan          Nasional, karena ajaran Islam secara filosofis tidak bertentang dengan filosofis      hidup bangsa Indonesia. Dalam konsep penyusunan sistim pendidikan Nasional   No. 20 tahun 2003 dan peraturan pemerintah yang menggiringnya terbuka kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.

b.   Pancasila sebagai asa bernegara secara filosofis menjadi landasan filsafat          pendidikan.

c.    Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia, maka lahirlah ICMI secara politis dijadikan sarana baru untuk memperkokoh    wacana tersebut[15][15].

Dengan demikian dilihat dari segi ajaran maupun sosiologi pendidikan, maka sistim pendidikan Islam Indonesia menjadi sub sistim pendidikan Nasional sebagaimana yang dicita-citakan. Dan secara politik    pendidikan Indonesia menempati posisi yang aman, sehingga yang perlu saat ini adalah meningkatkan kualitas pendidikan Islam agar tetap superior sebagaimana yang telah dicapai pada zaman klasik.































PENUTUP



Dari uraian tersebut, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:

1.   Pendidikan Islam mengalami berbagai problem, yakni dualisme (pendidikan     agama dan umum), diskriminasi anggaran pendidikan yang tidak seimbang,    produktifitas dan kualitas SDM yang rendah dan tidak mampu bersaing, sistim            manajemen pendidikan Islam tidak memenuhi standarisasi dan tuntutan dasar,       sampai pada kesenjangan antara hasil pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja.

2.   Prospek sistim pendidikan Islam di Indonesia dalam sub sistim pendidikan       Nasional secara politis, juridis dan sosiologi pendidikan Islam dapat diterima,    sekalipun tetap mendapat tantangan.























DAFTAR PUSTAKA



Arifin, Muzayyin,   Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit: PT. Bumi    Aksara, Jakarta, Oktober, 2003.



Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Cet. IV, Penerbit: Bumi Aksara,       Jakarta, 2000.



Abu Zaid, Nasr hamid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an,     Penerbit: LKIS. Yogyakarta, 2001.



Fajar, Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit: LP3NI, Jakarta,             Oktober, 1998.



Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis dan         Pendidikan, Penerbit: Al-Husna’, Jakarta, 1989.



Sahrodi, Jamali, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu            Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta,            Desember, 2005.



Sumardi, Muljanto, Pendidikan Islam, Bunga Rampai Pemikiran Madrasah dan   Pondok Pesantren, Penerbit: Pustaka Biru, Jakarta, 1980.



Tholkhah, Imam, dkk, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan             Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Cet. I, Penerbit: PT. Raja Grafindo          Persada, Jakarta, Juli, 2004.








                [1][1]Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: PT. Bumi Aksara, Jakarta, Oktober, 2003), h. 4

                [2][2]Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Juli, 2004), h. 4

                [3][3]Tujuan teknis artinya pendidikan diorientasikan kepada kemahiran dan keahlian (skill), seperti kerajinan tangan dan seni, membaca, menulis, aritmatika dan hal lain yang berkenaan dengan kemampuan peserta didik menggunakan alat-alat dengan cekatan. Tujuan humanistik adalah sikap disiplin, penundukan pada tuntunan-tuntunan obyektif bagaimana mengolah partisipasi dan integrasi didalam pergaulan sosial dan pemanfaatan secara maksimal semua potensi manusia secara individual dan sosial. Sedangkan tujuan induktif adalah bagaimana membangun peserta didik ke arah kesadaran akan tradisi, simbol dan nilai serta kepercayaan yang dipegangi bersama sehingga terjadi proses internalisasi dan inkulturasi.

                [4][4]Jamali Sahrodi, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, Desember, 2005), h. 136

                [5][5]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis dan Pendidikan, (Penerbit: Al-Husna’, Jakarta, 1989) h. 264

                [6][6]Jamali Sahrodi, dkk, Op. cit, h. 137

                [7][7]Nasr hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an; kritik terhadap Ulumul Qur’an, (Penerbit: LKIS. Yogyakarta, 2001), h. 4

                [8][8]Ibid, h. 1

                [9][9]Ibid, h. 2

                [10][10]Jamali Sahrodi, dkk, Op. cit, h. 151

                [11][11]Mengenal inovasi dalam upaya peningkatan mutu dan pembaharuan dalam bidang pendidikan, antara lain diperlukan: modernisasi management pendidikan, modernisasi guru-guru, modernisasi proses belajar, diperkuat anggaran belanja pendidikan. lihat, Muljanto Sumardi, Pendidikan Islam, Bunga Rampai Pemikiran Madrasah dan Pondok Pesantren, (Penerbit: Pustaka Biru, Jakarta, 1980), h. 19

[12][12]Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Cet. I, (Penerbit: LP3NI, Jakarta, Oktober, 1998), h. 3

[13][13]SK Tiga Menteri tentang perbaikan metodologi di IAIN dan memasukkan jenis-jenis ilmu pengetahuan umum serta keterampilan dilingkungan pondok pesantren

                [14][14]Malik Fajar, Op. cit, h. 33

                [15][15]Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Cet. IV, (Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 2000), h. 107
https://rahmatagustiyan.wordpress.com/problematika-pendidikan-islam/
………………………………..
………………………………………………………………………………..

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN CARA MENGATASINYA
Feb
20
Oleh :
Darsa Wijaya

  A. Pendahuluan

    Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pendidikan Islam bersumber pada nilai-nilai agama Islam di samping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut.[1]

Namun, hingga kini pendidikan Islam masih saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari permasalahan konseptual-teoritis, hingga permasalahan operasional-praktis. Tidak terselesaikannya persoalan ini menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan non Islam.
 Ketertinggalan pendidikan Islam dari lembaga pendidikan lainnya setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:[2]
Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang dan yang akan datang.
Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika modern.
Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau kurang bersifat future oriented.
Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya.

B. Problematika Pendidikan Islam Masa Kini

1. Problem Konseptual-Teoritis

Ketertinggalan pendidikan Islam ini salah satunya dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.

Oleh karena itu, akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan, antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomi. Adanya dikotomi inilah yang salah satu penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu, serta pikir dan zikir.[3] Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).

Selain itu orientasi pendidikan Islam yang timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan, dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis.

Di samping itu, pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak memperdulikan lagi sistem suatu agama.

Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern. Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”.

Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam. Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Sistem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.

2. Problem Mendasar : Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan

Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.[4]

Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah pribadi dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu).

Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”.[5]

Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomi semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan.

Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya.[6]

Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.



3. Problem-problem Cabang

Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:[7]

a.   Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

b.   Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yaitu merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.[8]

Dari pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi guru dapat disimpulkan sebagai berikut:[9]
Berijazah
Sehat jasmani dan rohani
Takwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
Bertanggung jawab
Berjiwa nasional

Walaupun guru bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi guru merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.

c.   Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.[10]

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.

Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.[11]

C. Solusi Problematika Pendidikan Islam Masa Kini

1. Solusi Problem Konseptual-Teoritis

Mencermati kenyatan tentang konsep dikotomi pendidikan, maka mau tidak mau persoalan konsep dikotomi pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan ideologis dan moral bagi pendidikan.

Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam.

Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan kultural) Filsafat Integralisme adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.

Inti dari pandangan filsafat integralistik ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu sekular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.

Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat modern yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberapa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.

Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostruktur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.

Pandangan filosofis inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian, filsafat integralisme nantinya akan menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.

2. Solusi Problem Mendasar: Sekularisme sebagai Paradigma Pendidikan

Penyelesaian problem mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.

Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.

Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru dan kesejahteraan guru.

Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain.

Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.

3. Solusi Problem-problem Cabang

Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan Islam di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain:
Rendahnya sarana fisik
Rendahnya kualitas guru
Rendahnya kesejahteraan gutu

Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:

Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan Islam. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik dan kesejahteraan guru berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.

DAFTAR PUSTAKA

Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.

Purwanto, Ngalim. 2000. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam Cet. V. Jakarta: Kalam Mulia.

Republik, 13 Juli 2005.

Uhbiyati, Nur. 1999. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV Pustaka Setia.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Bandung: Fokusmedia.

www.pendidikan.com. Tanggal 23 November 2008.

[1]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II (Bandung: CV Pustaka Setia. 1999), hlm. 15.

[2]www.pendidikan.com. Tanggal 23 November 2008.

[3]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam Cet. V (Jakarta: Kalam Mulia. 2006), hlm. 342.

[4]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokusmedia.2003), hlm. 7.

[5]Ibid., hlm. 11.

[6]Ibid., hlm. 23-24.

[7]Ramayulis, Loc.Cit.

[8]UU No. 20 Tahun 2003, Op.Cit., hlm. 25.

[9]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000), hlm. 139.

[10]Republik, 13 Juli 2005.

[11]Pikiran Rakyat, 9 Januari 2006.
//hudacianjur.wordpress.com/2013/02/20/30/
……………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN


 Nafas keislaman dalam pribadi seorang muslim merupakan alat vital yang menggerakkan perilaku yang diperkokoh dengan ilmu pengetahuan yang luas, sehingga ia mampu memberikan jawaban yang tepat guna terhadap tantangan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu pendidikan Islam memiliki ruang lingkup yang berubah-ubah menurut waktu yang berbeda-beda. Ia bersikap lentur terhadap perkembangan kebutuhan umat manusia dari waktu ke waktu.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pendidikan Islam
Istilah pendidikan Islam dipergunakan dalam 2 hal, yaitu:
1.        Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang/lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa.
2.        Keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.[1]
Dalam konteks istilah “pendidikan” masuk dalam kategori nilai, dan istilah “pengajaran” masuk dalam kategori rekayasa manusia yang secara terus-menerus dimutakhirkan untuk mencari nilai-nilai luhur.[2]
Salah satu pandangan modern dari seorang ilmuwan muslim hasil pendidikan Islam Dr. Muhammad S. A Ibrahimy mengungkapkan pengertian pendidikan Islam yang berjangkauan luas, sbb:
“Islamic education in the true sense of the term, is a system of education which enacles a man to kad his hide according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with tenets of islam, and this peace and prosperity may prevail in his own life as well in the whole word this Islamic scheme of education is of necessity and embracing system, for islam encompasses the entire gamut of muslim’s life. It can justly be said that all brantes of karming which one not Islamic are included in the Islamic education. The scope of Islamic education has been changing at different times. In view of the demands of the age and the development of science and technology, its scope has also videned”.[3]
Dengan demikian, apa yang kita kenal dengan pendidikan Agama Islam di negeri kita, merupakan bagian dari pendidikan Islam, dimana tujuan utamanya adalah membina dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam. Sehingga ia mampu mengamalkan syariat Islam secara benar sesuai pengetahuan Agama.[4]

B.       Sistem Pendekatan dan Orientasi
Orientasi sistem pendidikan Islam Indonesia telah mengalami perubahan dan perkembangan terus-menerus.[5]
Orientasi pendidikan Islam dalam zaman teknologi masa kini dan masa depan perlu diubah pula. Yang semula berorientasi kepada kehidupan ukhrawi menjadi duniawi ukhrawi bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus lebih diproyeksikan ke masa depan pada masa kini atau masa lampau.[6] IPTEK, pemikiran, keterbukaan dan antisipasi ke depan semakin menguat. Hal ini karena disebabkan oleh semakin berkembangnya pandangan teologi yang vitalitas dan rasional. Meskipun demikian, masih terasa adanya dua orientasi yang berjalan secara beriringan antara orientasi sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional belum terdapat integrasi yang tuntas. Secara filosofi dan akademis masih terasa adanya ganjalan dikotomi antara ilmu agama dan umum.[7]
Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa keberadaan Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilah yang merajalela di luar kehidupan Islam lebih-lebih dalam menghadapi pergesaran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan, yang belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang releven dengan tuntutan zaman justru karena pendidikan Islam membawakan prinsip dan nilai-nilai absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perusahaan sosiokultural itu.[8]

C.      Penyelenggaraan Pendidikan Islam Indonesia
Secara sosiologis dan dalam sketsa pasar, sistem pendidikan Islam di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
1.        Strategi
Seiring dengan proses perkembangan orientasi tadi, strategi pendidikan Islam Indonesia pada masa awalnya juga teralinasi dan konfrontasi dengan pemerintah kolonial. Begitu keras konfrontasi mereka, sampai-sampai celana dan dasi pun diharamkan. Bahkan cara-cara belajar dengan duduk di kursi juga haram. Hal itu dianggap sebagai kebiasaan kaum kafir, kini keadaannya telah berubah nyaris total.
2.        Sumber Belajar
Sumber belajar sistem Pendidikan Islam Indonesia harus berubah dan berkembang semakin beragam dan intensif. Tidak hanya jumlahnya, tetapi juga kualitasnya. Kalau dulu santri hanya menerima materi dari sumber tunggal yakni kyai, tetapi kini, menerima materi dari banyak sumber. Mereka dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai.
3.        Metodologi Belajar
Metodologi belajar yang berlaku saat ini tampak masih “klasik”. Dalam arti, mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak didik tanpa memberikan kesempatan kepadanya agar disikapi secara kritis. Kini keadaannya berubah, kelompok-kelompok diskusi telah berkembang dimana-mana, pelajar terutama mahasiswa, telah menampilkan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali mengejutkan dan membuka rahasia yang sebelumnya tidak diduga sebagai suatu masalah.
4.        Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan sistem pendidikan Islam di Indonesia juga teralienasi dan tidak jelas bedanya dengan pranata-pranata sosial yang lain. Seluruh kelembagaannya bersifat nonformal dan milik pribadi, tidak professional dan bukan menjadi milik institusi.
5.        Prestasi
Seiring dengan komponen-komponen diatas dan kondisi sosial budaya pendukungnya prestasi sistem pendidikan Islam Indonesia pada awalnya lebih terfokus kepada pertahanan mental spiritual dan ritual keagamaan. Kini prestasi sistem pendidikan di Indonesia semakin menguat terutama di sisi keilmuan atau pemikiran. Tentu saja fenomena tersebut semakin memperkokoh domain efektif keagamaan untuk mendampingi pengalaman dan pengembangan IPTEK.
6.        Kondisi Sosial Budaya Rumah
Pada awalnya kondisi sosial umat masih amat bercorak fikih, sufistik, sinkritis dan primordial. Kini, secara keseluruhan kondisi sosial budaya umat telah berubah dari tradisional menuju rasional.[9]
D.      Permasalahan Pendidikan Islam Saat Ini
Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.[10]
Permasalahan mencuat ketika umat Islam berusaha mengejar ketertinggalan dalam bidang IPTEK namun mau menghindari cara kerja epistemiknya yang dinilai tidak “islami” (produk barat) untuk diganti dengan cara kerja epistemik yang islami (qur’ani). Pemikiran semacam inilah yang pada dasarnya memunculkan ambiguitas. Dalam konteks ini, pendidikan Islam masih di dominasi oleh knowing daripada doing. Ini bisa dilihat dari praktek-praktek pendidikan, lebih khusus lagi metode pengajarannya yang ada di berbagai institusi-institusi pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah. Proses belajar mengajar yang ada masih mengedepankan penguasaan pengetahuan di bawah otoritas guru daripada belajar melalui murid mengembangkan dari aktifitasnya sendiri di bawah bimbingan sendiri. Metode belajar semacam ceramah, hafalan bandongan sorogan, dalam prakteknya masih dikendalikan oleh otoritas kyai atau guru walaupun memang aktif namun dia tidak bisa menentukan kitab yang dipelajarinya.[11]
Adanya sistem dikotomik inilah yang menurut Abdurrohman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antara akal dan wahyu. Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis dimana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuan-ilmuan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi hasanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Terjadinya penilaian-penilaian antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memedulikan agama. Begitulah gambaran praktek kependidikan dan aktifitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini sitandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.
Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosial-kultural mereka. Pada saat, mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam mereka akan mengalami sosial-shock.
Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-sepotong, tidak integral dan komprehensif.[12]

E.       Solusi dan Peluang Problematika Pendidikan Islam pada Saat Ini
Bagaimanapun sistem pendidikan Islam di Indonesia memiliki peluang-peluang yang amat besar dalam menghadapi masalah-masalah tersebut:
1.        Sistem pendidikan Islam Indonesia tidak menghadapi dominisi sistem pendidikan nasional, karena ajaran Islam secara filosofi tidak pernah bertentangan dengan pandangan hidup bangsa.
2.        Pancasila sebagai azaz tunggal secara filosofi merupakan bagian dari filsafat Islam.
3.        Dalam keadaan jauh yang lebih stabil baik fisik, hukum, keamanan dan ekonomi adalah suatu kesempatan yang amat tepat bagi kelompok mayoritas untuk mengisinya.
4.        Semakin berkembangnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam.[13] Disamping banyak peluang juga ada solusi untuk mengatasi problematika pendidikan Islam pada saat ini.
Konsep dualisme-dikotomi pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradikmatik, maupun teknik departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idelogis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduanya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan cultural) Filsafat integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era post-modern di kalangan masyarakat barat.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manusia saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang partial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberapa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan, begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostruktur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.[14]


BAB III
KESIMPULAN


Dengan demikian adanya, agar tidak selalu berada di belakang kemajuan IPTEK, maka kita harus memutas kembali orientasi pendidikan Islam dari model knowing  yang cenderung pasif ke arah doing  yang menjanjikan keaktifan dan penguasaan teknologi juga dari orientasi pengetahuan rasional ke pengetahuan indrawi. Minimal kalau reformasi semacam ini sudah diterapkan, bisa dengan jalan meminimalkan manipulasi guru atas murid dan pengembangan murid melalui aktifitasnya dioptimalkan, dengan pertimbangan bagaimanapun juga murid itu memerlukan bimbingan.


DAFTAR PUSTAKA

http://blogspot.com/2009/01/problematika pendidikan-islam-masa-kini.html

Mastuhu, M. Ed. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta : Logos. 1995

Arifin, M. Ed. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta : Bumi Aksara. 1995

Assegaf, Abdul Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Suka Press. 2007

[1] http://blogspot.com/2009/01/problematika pendidikan-islam-masa-kini.html 
[2] Mastuhu, M. Ed, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, cet. 1, (Jakarta:Logos, 1999), hal. 31
[3] Arifin, M. Ed, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, cet. 3, (Jakarta:Bumi Aksara, 1995), hal. 3-4
[4] Ibid, hal. 5
[5] Mastuhu, op.cit, hal. 31
[6] Arifin, op.cit, hal. 6
[7] Ibid, hal. 5
[8] Ibid, hal. 5
[9] Mastuhu, op.cit, hal. 33-36
[10] http://blogspot.com
[11] Abdul Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, cet 1, (Yogyakarta:Suka Press, 2007), hal. 35-38
[12] http://blogspot.com
[13] Mastuhu, op.cit, ha
……………………………………………
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A.      Pendahuluan
            Proses pendidikan terejawantahkan sebagai kajian dari ilmu pendidikan yang lebih bersifat praktis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan dan kebijakan pendidikan. Keadaan imu pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian pakar pendidikan dikatakan dalam status stagnasi karena terputusnya hubungan dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memperhatikan Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren .
 Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat.
Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini.
 Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi.
Dunia pendidikan saat ini masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari soal rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat, sampai kepada persoalan guru, metode, kurikulum dan lain sebagainya.
Tujuan dari makalah ini agar kita mengetahui problematika pendidikan Islam di Indonesia dan ketika terjun dalam masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena dengan mengetahuinya kita setidaknya sudah bisa mengantisipasi segala problem yang akan kita hadapi saat berada dalam masyarakat khususnya dalam hal pendidikan.
B.      Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Menurut Prof. Sugarda Purbakawaca, dalam "Ensiklopedi Pendidikan"nya, memberikan pengertian pendidikan, sebagai berikut: "Pendidikan dalam arti luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang menamakan ini juga "mengalihkan" kebudayaan, dalam bahasa Belanda: Cultuurover dracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani."
 Setelah membahas Pendidikan selanjutnya kita akan memaparkan tentang pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang diformulasikan oleh para ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a. Menurut al-Syaibaniy mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
b. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan bisa membentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
c  Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
Konsep dasar pendidikan islam yakni usaha, kemanusiaan, perkembangan, proses, bimbingan oleh manusia secara sadar.
 Ruang lingkup pendidikan islam ada tujuh:
 1. Kehidupan beragama, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma islam
 2. Kehidupan keluarga, agar perkembangan menjadi keluarga sejahtera
 3. Kehidupan sosial, agar dapat berkembang menjadi sistem bebas dari penghisapan
    manusia lain
 4. Kehidupan politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai
    dengan isla
 5.  Budaya, agar menjadi manusia penuh keindahan dan kegairahan dengan nilai norma
 6.  Ekonomi, terbina masyarakat yang adil dna makmur dengna ridha Allah SWT
 7.  Pengetahuan, bertujuan agar berkembang menjadi alat untuk menapai kesejahteraan
     umat manusia yang dikendalikan oleh iman
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).

C.      Problematika Pendidikan Islam
Indonesia merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia public bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam system pendidikan nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik pendidikan nasional ataupun pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan adalah mengembangkan  harkat dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu  menjadi  khalifah (Mastuhu, 2003).
Ini mengindikasikan bahwa pendidikan islam di Indonesia masih dibalut sejumlah problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul dari elemen-elemen intern maupun ektern yang ada di sekitar badan itu sendiri. Begitu juga dalam pendidikan, bahwa problem-problem itu berakar dari penyebab eksternal dan penyebab internal (Subliyanto: 2010). Problem internal hingga ekternal pun hadir di tengah-tengah pendidikan Islam. Mulai dari permasalahan internal dalam hal managemen hingga persoalan ekternal seperti politik dan ekonomi menambah sederet daftar problem yang mestinya ditindak lanjuti.

1.       Faktor Internal
Yang dimaksud dengan factor internal ialah hal-hal yang berasal dari dalam madrasah.
Adapun faktor-faktor internal dalam pendidikan Islam,yaitu :
a.    Manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi. (Abidin : 2010)
Menurut Moh Raqib bahwa  problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini adalah alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal tersebut tampak pada alumni yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS sementara lowongan kerja untuk PNS sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas untuk menciptakan lowongan kerja sendiri. (Raqib: 89).
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
b.        Kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan sosial. (Qurroti : Scirbd.com ).  Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar..
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
c.         SDM yang kurang
1)     Pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
2)     Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
d.      Campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah.
Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
 Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri.
Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah internasional.

2.       Faktor Eksternal
Faktor berasal dari luar madrasah, tetapi berpengaruh terhadap perkembangan dan dinamika madrasah.
Adapun faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam, meliputi :
a.    Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam.
    1). Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
     kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknya beragama Islam.

 2) Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sisi teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan).
     Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community".
 3) Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem .
 Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.
b.    Paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
c.    Paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam  merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi alas an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.

D.      Kesimpulan
Problematika pendidikan Islam dibedakan menjadi 2 sumber internal dan eksternal. Sumber internal yang berasal dari dalam madrasah meliputi manajemen madrasah, SDM yang kurang, dll. Sedangkan pada eksternal yang berasal dari luar meliputi kebijakan pemerintah yang dikotomik dan paradigm yang negative oleh masyarakat terhadap madrasah.
Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual,  emosional dan intelegensia secara optimal (Miftah: 2010). Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigm yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.


















DAFTAR PUSTAKA

Musnandar, Aries, Problematika Pendidikan Islam di Indonesia : Posted, 05 November 2011 dari http://         ,diakses pada tanggal 20 November 2011.

Qurroti.Siti,.Problematika.Pendidikan.Islam,.dari.http..:.//ww.cribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam, Diakses pada tanggal 20 November 2011.

Raqib, Moh. 2009, Ilmu Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, LKiS Yogjakarta : Yogjakarta

Zainal Abidin, Muhammad, Problematika Pendidikan di Indonesia dan Solusi Pemecahannya.:Posted.pada.20..Februari..2010.dari.http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan solusi-pemecahannya/, diakses pada tanggal 20 November 2011.
………………………………………………..
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan, pendidikan Islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional. Sudah menjadi rahasia publik bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional.
Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tidak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain oleh pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
A.  Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
1.    Faktor Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Hal ini merupakan masalah terpenting jika menginginkan efektifitas pengajaran.
a)    TujuanPendidikan
 Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki kemampuan analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan akan dapat mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi fenomenanya, pendidikan itu dapat pula menyesatkan. Bisa kita lihat dari kualitas pendidikan kita yang hanya diukur berdasarkan ijazah. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang diperjual-belikan. Dan tidak bisa kita pungkiri banyak pejabat yang membelinya. Jika kita pikirkan, berarti asalkan memiliki uang kita tidak perlu bersekolah, ijazah tinggal kita beli saja. Ini merupakan kondisi bangsa yang memprihatinkan.
b)    Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
2.    Faktor Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang, jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
a)    Waktu pengajaran
Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
b)    Mutu pengajar
Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
c)    Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kelayakan mengajar berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
d)    Sistem pendidikan
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuarang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
e)    Biaya
 Bagi sebagian besar masyarakat biaya pendidikan masih dianggap mahal. Kita lihat contoh real mengenai program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya. Padahal ada dana bantuan dari pusat, tapi tetap saja ada pungutan-pungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktek di luar, dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat.
f)     Fasilitas Pendidikan
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Bukankah negara ini memiliki anggaran pendidikan yang tentunya dapat menanggulangi permasalahan seperti ini. Para pejabat kita di Senayan saja tiap bulan bisa melakukan tour ke luar negeri berkedok studi banding, mengapa hanya memperbaiki sekolah yang rusak mesti berlarut-larut. Yang dirugikan tentunya anak-anak calon penerus bangsa ini. Bagaimana mereka tidak was-was jika harus belajar di dalam gedung yang hampir roboh.
3.    Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Dunia pendidikan terus berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
a)     Ujian Nasional
Banyak pihak merasakan penyimpangan dari pelaksanaan UN, yang pertama bahwa yang dinilai dalam UN hanya aspek kognitif peserta didik, padahal dalam kependidikan, kemampuan peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penyimpangan yang kedua yaitu bahwa penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini tentunya merampas hak guru dalam melakukan penilaian. Ketiga, UN mengabaikan unsur penilaian proses. Dan, penyimpangan yang keempat, yaitu UN memberikan beban sosial dan psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya malah menghafal pelajaran.

4.    Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Ada beberapa aspek pendidikan yang bisa kita cermati dan mengemuka akhir-akhir ini sebagai masalah-masalah penting dalam pendidikan, yaitu :
a)    Kurikulum
 Kurikulum sering dianggap dokumen sakti yang harus menjadi pegangan. Apa yang tertuang di dalamnya menjadi satu-satunya pegangan. Banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi. Orientasi kurikulum masih dilihat dari ketuntasan materi pelajaran. Guru menjadi panik begitu menyadari materi yang diajarkan belum terselesaikan. Guru selalu dikejar-kejar target kurikulum, padahal pelaksanaan pembelajaran mengalami berbagai situasi yang berbeda-beda setiap semester dan setiap tahunnya.
Sehingga pembelajaran di kelas sebagian besar masih terbatas pada penyelesaian bahan ajar tanpa memperdulikan apakah seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran atau belum. Realitanya hanya sepertiga peserta didik yang menguasai seluruh pelajaran. Sedangkan duapertiganya akan mengakumulasikan ketidakpahamannya yang nanti tercermin dalam ketidakmampuannya menjawab tes yang diberikan. Selain itu, substansi kurikulum dalam hal kepadatan materi tidak signifikan dengan alokasi waktu tersedia. Ini juga merupakan salah satu sebab bahwa materi yang dibelajarkan di kelas kurang bermakna dan kurang terlihat relevansinya bagi siswa.

B. Solusi bagi Problematika Pendidikan Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
1.    Solusi sistemik,
yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan.
a)    Permasalahan biaya
Jika semua pemangku pendidikan menjalakan program dengan benar, anggaran pendidikan di negara ini tidaklah kurang. Sayangnya dengan adanya permainan oknum-oknum, segala hal menjadi kurang, pemerataan penerimaan dana pendidikan pun tidak seimbang.
Pendidikan yang berkualitas memang tidak murah, atau tepatnya bisa kita katakan tidak harus murah atau gratis. Pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa mengakses pendidikan yang bermutu. Idealnya pendidikan di Indonesia harus dapat dikenyam oleh anak usia sekolah minimal SMA sederajat, tanpa memandang anak tersebut berasal dari keluarga kaya ataupun miskin.
b)    Permasalahan sarana prasarana
Masalah sarana prasarana tentunya akan berpulang lagi pada komitmen pemerintah dan pemangku pendidikan terkait. Dan tidak terlepas pula yang sudah dibahas di atas bahwa semuanya harus dikembalikan ke pribadi pemangku kepentingan, apakah mereka berniat untuk benar-benar berguna bagi negara atau sekedar mencari keuntungan ditengah kondisi pendidikan bangsa ini.
Jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita, niscaya pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari pejabat pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung dengan siswa, harus memiliki komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini.
2.    Solusi teknis,
yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru, prestasi siswa, permasalahan kurikulum dan permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan UN. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
a)     Permasalahan rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
b)    Permasalahan rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
c)    Permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi adalah pelaksanaan dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum ini. Contohnya, jika guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) maka janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi. Bukankah pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa benar-benar memahami materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi yang diketahui hanya permukaannya saja.
d)    Permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan UN. Ijazah memang penting untuk menunjukkan legalitas kemampuan kita, akan tetapi hendaknya yang memerlukan ijazah ini lebih menekankan proses perolehan ijazah. Tidak ada bedanya dengan UN, sebenarnya pelaksanaan UN masih relevan, tetapi dalam prosesnya masih ada yang perlu diperhatikan dan dibenahi. Contohnya, standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masing-masing siswa.
Pada akhirnya, untuk mencari solusi terhadap penjengjangan pendidikan, haruslah didasarkan pada apa saja yang harus di bentukan pada anak didik, perlu melakukan perhitungan secara seksama dengan melakukan exsperimen yang matang untuk menemukan fakta-fakta kebenaran baru dalam rangka meninjau kembali penjenjangan tingkat pendidikan yang selama ini dipedomani.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikandi Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
C.  Kesimpulan
1.    Pendidikan Islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional.
2.    Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
»   Faktor Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan.
a)    Tujuan Pendidikan : sekarang ini banyak ijazah yang diperjual-belikan.
b)    Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan : layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
»   Faktor Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
kurang mempertimbangkan proses pembelajaran, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
a)    Waktu pengajaran : proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
b)    Mutu pengajar : disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya.
c)    Rendahnya Kualitas Guru : Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
d)    Sistem pendidikan : terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuarang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
e)    Biaya : banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya.
f)     Fasilitas Pendidikan : banyaknya fasilitas yang kurang memadai.
3.    Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.
»   Ujian Nasional : adanya beberapa penyimpangan dari pelaksanaan UN,
4.    Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
»   Kurikulum : banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi, dan pembelajaran di kelas sebagian besar masih terbatas pada penyelesaian bahan ajar tanpa memperdulikan apakah seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran atau belum
5.    Solusi bagi Problematika Pendidikan Indonesia
»   Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
a)    Permasalahan biaya : pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa mengakses pendidikan yang bermutu.
b)    Permasalahan sarana prasarana  : jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita,
»   Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan.
a)    Permasalahan rendahnya kualitas guru : diberi solusi peningkatan kesejahteraan, dan juga solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
b)    Permasalahan rendahnya prestasi siswa : diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
c)    Permasalahan kurikulum : guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) dan tidak menuntut guru untuk menghabiskan materi.
d)    Permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan UN : hendaknya seseorang yang memerlukan ijazah lebih ditekankan pada proses perolehan ijazah, serta standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masing-masing siswa..
…………………………………………
Makalah Problematika Pendidikan Islam

BAB   I      
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG MASALAH
            Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1] Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan.
 Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi dari avatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003.[2], UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam lingkup daerah.
 Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
B.      RUMUSAN  MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut:
1.      Apakah problem-problem pendidikan di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah  upaya-upaya mengatasi problem pendidikan di Indonesia ?
C.      TUJUAN PEMBAHASAN
Pada akhirnya makalah ini akan di presentasikan dan didiskusikan.
1.      Untuk mengetahui apa saja problem pendidikan di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui sejauh mana problem itu dapat di atasi.









BAB  II
PEMBAHASAN

A.      PEMETAAN MASALAH PENDIDIKAN
           Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya.
           Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan.Sedangkan pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan pisik.[3]
Berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait. Problematika  pendidikan  sebagai proses sebuah sistim yang komplek.     Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
        Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miski
1.Pemerataan  Pendidikan
a. Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
  b..Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
c .Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
d. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.)

2.Kerusakan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas. Sedangkan untuk pembangunan ruang kelas baru, SMP dibutuhkan sebanyak 5.628 ruang kelas baru dan MTs sebanyak 1.706 ruang kelas baru. Berdasarkan rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru tersebut, maka dibutuhkan dana keseluruhan sebesar Rp 2.838.770.000.000. Anggaran kebutuhan sebesar Rp 2,8 triliun tersebut, tidak mungkin ditangani seluruhnya oleh APBD. Untuk itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Barat, dan para Bupati/Walikota se-Jawa Barat, pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan sharing antara Pemerintah Pusat sebesar 50% atau sekitar Rp 1,4 triliun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar 30% atau sekitar Rp 840 miliar, sisanya 20% atau sekitar Rp 560 miliar dari 25 Kota/Kabupaten di Jawa Barat. (Sumber: Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar).
3.Kekurangan jumlah guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan. Sementara itu, siapa pun mungkin akan setuju mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu fondasi dalam membangun bangsa. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada proses pendidikan yang dilaluinya. Jika proses itu berjalan buruk, jangan harap kualitas yang dihasilkan akan baik. Dengan kata lain, teruslah bermimpi menjadi bangsa besar jika pendidikan tidak menjadi prioritas dalam proses pembangunan (Pikiran Rakyat, 06/10/2002
4.Kinerja dan kesejahteraan guru belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya
. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Baru-baru ini Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan akan menaikkan tunjangan guru dalam APBN 2007. Guru PNS dinaikkan Rp 100 ribu, sedangkan non-PNS dari tunjangan Rp 115.000 naik menjadi Rp 200.000. Sebanyak 556.418 guru madrasah non-PNS mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp 200 ribu per orang., kenaikan tunjangan fungsional sebesar Rp 100.000 per orang. Kenaikan akan dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
5.Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif. Menurut Nurhadi,dan dkk (2004; 1) salah satu aspek penting yang harus dilakukan dalam kontek pembaharuan pendidikan adalah pembaharuan dalam efektivitas metode pembelajaran disamping pembaharuan kurikulum dan kwalitas pembelajaran.[4]
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet.
6.Jumlah dan Kwalitas buku yang belum memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
B.PENGELOLAAN
1.Penyeleenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1)   Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri.
2.Keterbatasan  Anggaran
            Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)   (ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).
3.Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dan sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban karena tidak tersedianya tenaga pendidik yang kurang professional.[5]
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada UU No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola Manajemen Berbasis Sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola Otonomi Perguruan Tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan. Bagi individu kemampuan untuk belajar secara terus menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kwalitas hidupnya.Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi kegenerasi.[6]
Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan.
C.RELEVANSI PENDIDIKAN
1.Belum menghasilkan  Life Skil
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
2.Belum berbasis Masyarakat
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.Belum Optimal Kemitraan dengan dunia Usaha dan Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentua mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Berdasarkan  penjelasan dan uraian di atas  dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwa sistim pendidikan di Indonesia mengalami masalah atau problem antara lain:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
 2) Kerusakan sarana dan prasarana,
 3) Kekurangan tenaga guru,
 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
 5) Proses pembelajaran yang konvensional,
 6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
 7) Otonomi pendidikan.
 8)Keterbatasan anggaran
 9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
 10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
 11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
 12) Kemitraan dengan DU/DI

B.      PEMECAHAN MASALAH DAN SARAN-SARAN
            Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
 Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim).
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
 Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar.


[1] . Muhaimin.Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,PT Rajagrafindo Persada Hal VII Th  2009
[2] .Mulyasa, Menjadi guru Profesional, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet 6, Hal 197, Th 2007
[3] .Wiji Suwarno,Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 23, Th 2006,
[4] .Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur Kholidiah,Metode dan Teknik Pembelajaran, Bandung, Cet, 1,Hal 115,Th 2009.
[5] .Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta, Media Group, Cet 4, Hal.2, Th,2010
[6] .Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori-teori Belajardan Pembelajaran, Jakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 47 Th 2010.
……………………………….
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Teori
Manajemen keuangan pendidikan sekolah dasar ialah segenap usaha
dalam rangka perencanaan sumber-sumber keuangan, pembukuan
 penggunaan keuangan, pemeriksanaan keuangan, dan pelaporan dan
 pertanggungjawaban keuangan secara efektif dan efisien sehingga dapat
menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Ruang lingkup sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.

Membuat rancangan anggaran (budgeting) sekolah. Setiap tahun
kepala sekolah dibantu oleh guru dan Komite sekolah harus membuat
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) atau
Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS). Rencana ini harus
disahkan dan ditanda tangani oleh Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah Sekolah, RAPBS atau RKAS.
2.

Melakukan pembukuan (accounting) penggunaan keuangan sekolah.
Sebagai bendaharawan sekolah, kepala sekolah memiliki tugas
menerima, menyimpan, mengeluarkan dan mempertanggungjawabkan
uang atau barang kekayaan negara, maka perlu membukukan sebagai
 pedoman dasar dalam pelaporan dan pertanggungjawabannya.
3.

Melakukan pemerikasaan (auditing) keuangan sekolah. Karena
 pekerjaan kepala sekolah menyangkut kekayaan negara, sehingga
setiap saat keadaannya harus siap diperiksa dan keadaannya selalu
cocok dengan kenyataannya.
4.

Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan. Pelaporan dan
 pertanggungjawaban keuangan merupakan tahap akhir dari
 pengelolaan keuangan.
Penggunaan anggaran dan keuangan sekolah, dari sumber manapun,
apakah itu dari pemerintah, ataupun dari masyarakat perlu didasarkan pada
  
Manajemen Keuangan pada Sekolah Dasar
 |
2
 prinsip-prinsip umum pengelolaan keuangan. Implementasi prinsip-prinsip
 pada penyusunan anggaran pendidikan sekolah, maka sumber dana
sekolah, seharusnya tidak hanya diperoleh dari anggaran dan fasilitas dari
 pemerintah atau penyandang dana tetap saja, tetapi juga diperoleh dari
sumber dana dari masyarakat. Dengan demikian peran serta masyarakat
dalam bidang masyarakat penyelenggaraan pendidikan dapat dioptimalkan
sesuai dengan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RAPBS adalah
harus menerapkan prinsip anggaran berimbang, yaitu rencana pendapatan
dan pengeluaran harus berimbang, diupayakan tidak menjadi anggaran
 pendapatan minus. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
 penyususnan RAPBS sebagai berikut: 1) menginventarisasi rencana yang
akan dilaksanakan, 2) menyusun rencana berdasarkan skla prioritas
 pelaksanaannya, 3) menentukan program kerja dan rincian program, 4)
menetepkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program, 5) menghitung
dana yang dibutuhkan, dan 6) menentukan sumber dana untuk membiayai
rencana.
Dalam setiap anggaran yang disusun untuk kegiatan-kegiatan di
lingkungan sekolah, paling tidak harus memuat 6 hal informasi sebagai
 berikut:
1.

Informasi rencana kegiatan: sasaran, uraian rencana kegiatan,
 penanggungjawab, rencana baru atau lanjutan.
2.

Uraian kegiatan program, program kerja, rincian program
3.

Informasi kebutuhan: barang/jasa yang dibutuhkan, volume
kebutuhan.
4.

Data kebutuhan harga satuan, jumlah biaya yang diperlukan untuk
seluruh volume kebutuhan
  
Manajemen Keuangan pada Sekolah Dasar
 |
3
5.

Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk masing-masing rincian
 program, program, rencan kegiatan, dan total anggaran untuk
seluruh rencana kegiatan periode terkait, dan
6.

Sumber dana: total sumber dana, masing-masing sumber dana yang
mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatan sekolah, jumlah yang direalisasikan bisa
terjadi tidak sama dengan anggarannya, bisa kurang atau lebih dari jumlah
yang telah dianggarkan. Perbedaan ini harus dianalisis faktor penyebab
dan apabila terjadi revisi RAPBS masih dapat berjalan. Perbedaan antara
realisasi pengeluaran dengan anggarannya dapat terjadi karena sebab
 berikut:
1.

Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran
2.

Terjadinya penghematan atau pemborosan
3.

Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah di
 programkan
4.

Adanya perubahan perubahan harga yang tidak terantisipasi
5.

Penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Managemen keuangan harus digunakan sesuai dengan kepentingan
sekolah beserta warga sekolah agar dalam pelaksanaan pengembangan
keuangan dapat terealisasi dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, kepala
sekolah dan komite sekolah diharapkan mampu mengelola keuangan
dengan tepat agar menunjang pendidikan di sekolah tersebut.
Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi
 publik pemerintahan yang mempunyai beberapa arti antara lain. Akuntabilitas
sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility), yang dapat dipertanyakan
(answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang
mempunyai ketidakbebasan (liability).
………………………
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.

Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)

Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan  Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.

B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah

Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.

1. Transparansi

Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.

2.  Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat

3.  Efektivitas

Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

4.  Efisiensi

Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:

a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.

Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:



Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.

b. Dilihat dari segi hasil

Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.

Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:



Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.

Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

=====================

Diambil  dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)

=====================

Daftar Rujukan
Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to Educational Administration. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Keuangan. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama
Direktorat Pendidikan Dasar. 1995/1996. Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar. Ditdikdasmen Depdikbud
Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. 1991. School-Based Leadership: Callenges and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers
Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992. Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama
Koontz, Harold dan O’Donnel, Cryill. 1984. Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Manullang, M. 1990. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas. Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutarsih, Cicih. Tanpa tahun. Administrasi Keuangan Sekolah. Jakarta:
Swastha, Basu. 1985. Azas-azas Manajemen Modern. Yogyakarta: Liberty.
Timan, Agus, Maisyaroh, Djum Djum Noor Benty. 2000. Pengantar Manajemen Pendidikan. Malang: AP FIP Universitas Negeri Malang.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama
Undang-undang No 22 tahun 1999, yang direvisi dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Widjanarko, M. dan Sahertian, P.A. 1996/1997. Manajemen Keuangan Sekolah. Bahan Pelatihan Manajemen Pendidikan bagi Kepala SMU se- Indonesia    di Malang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Manajemen Keuangan
            Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggung jawaban. Kata “manajemen” (management) mempunyai beberapa arti, tergantung pada konteksnya. Dalam bahasa Inggris, management berasal dari kata kerja to manage yang dalam bahasa Indonesia dapat berarti mengurus, mengatur, mengemudikan, mengendalikan, mengelola, menjalankan melaksanakan dan memimpin.[1] Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian manajemen keuangan, antara lain:
a.       Menurut Tim Dosen UPI Manajemen pendidikan merupakan proses manajemen dalam pelaksanaan tugas pendidikan dengan mendayagunakan segala sumber secara efisien untuk mencapai tujuan yang efektif.[2]
b.      Menurut Silalahi manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengisian staf, pemimpinan, dan pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan organisasional secara efektif dan efisien”.[3]
c.       Menurut Syarifudin manajemen adalah proses bekerja sama antara individu dan kelompok serta sumber daya yang lainnya dalam mencapai tujuan organisasi sebagai aktivitas manajemen.[4]
d.      Menurut Maysarah dikutip oleh Sulistyorini menjelaskan bahwa manajemen keuangan adalah suatu proses melakukan kegiatan mengatur keuangan dengan menggerakkan tenaga orang lain. Kegiatan ini dapat dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai dengan pengawasan. Dalam manajemen keuangan di sekolah tersebut dimulai dengan perencanaan anggaran sampai dengan pengawasan dan pertanggung jawaban keuangan.[5]
e.       Menurut Depdiknas manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan. Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan sekolah.[6]
f.       Menurut Engkoswara sebagaimana dikutip oleh E. Mulyasa mengemukakan bahwa manajemen pendidikan dalam arti seluas-luasnya adalah satu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang baik bagi manusia yang turut serta dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.[7]
g.      Menurut Mulyasa Manajemen pendidikan pada hakikatnya menyangkut tujuan pendidikan, manusia yang melakukan kerjasama proses sistemik dan sistematik, serta sumber-sumber yang didayagunakan.[8]
Dari beberapa defenisi di atas penyusun dapat simpulkan bahwa manajemen keuangan pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan guna mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan dengan mengembangkan dan mengelola sumber daya dan potensi-potensi yang dimiliki dalam sistem pendidikan tersebut secara efektif dan efisien.
Institusi, organisasi, lembaga atau bahkan diri manusia, dan termasuk juga sekolah membutuhkan adanya manajemen. Manajemen digunakan sebagai rujukan untuk mengatur atau mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan subsistem dan menghubungkannya dengan lingkungan organisasi, khususnya dalam pembinaan para anggotanya. Manajemen makin berkembang seiring dengan semakin kompleksnya tatanan kehidupan baik dalam organisasi pemerintah maupun lembaga-lembaga swasta karena tuntutan perkembangan zaman, manusia terus berupaya untuk mendapatkan alat pemecahan yang tepat guna,  terpadu dan komprehensif. Demikian pula agar organisasi  menjadi maju diperlukan manajemen yang baik untuk menata segala bidang yang ada di  dalam organisasi yang bersangkutan, pembinaan terhadap anggota organisasi sebagai sumber daya manusia, bidang sarana dan prasarana, bidang administrasi dan termasuk juga bidang keuangan.
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggung jawaban.
2.2 Tujuan dan Fungsi Manajemen Keuangan Pendidikan
            Adapun tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk memperoleh, dan mencari peluang sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan sekolah, agar bisa menggunakan dana secara efektif dan tidak melanggar aturan, dan membuat laporan keuangan yang transparan dan akuntabel. Di sinilah peran seorang manager sekolah atau Kepala Sekolah untuk mengelola keuangan dengan sebaik mungkin dengan memperdayakan sumber daya manusia yang ada di lingkungan sekolah Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah[9]:
a.       Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
b.      Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
c.       Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.n Selanjutnya fungsi manajemen keuangan dalam pendidikan adalah untuk melaksanakan kegiatan agar suatu tujuan tercapai dengan efektif dan efisien. Secara tegas tidak ada rumusan yang sama dan berlaku umum untuk fungsi manajemen.[10]
Adapun fungsi manajemen secara rinci adalah sebagai berikut :
1.      Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah suatu proses penentuan tujuan pedoman pelaksanaan, dengan memilih yang terbaik dari alternatif-alternatif yang ada. Menurut Tim dosen administrasi pendidikan UPI secara sederhana merencanakan adalah suatu proses merumuskan tujuan-tujuan, sumber daya dan teknik atau metode yang terpilih.[11] Menurut Terry sebagaimana dikutip oleh Syarifudin mengemukakan bahwa perencanaan adalah menetapkan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh kelompok untuk mencapai tujuan yang digariskan. Perencanaan mencakup pengambilan keputusan, karena termasuk pemilihan alternatif-alternatif keputusan.[12]
Menurut Ramayulis bahwa dalam manajemen pendidikan Islam, perencanaan itu meliputi penentuan prioritas agar pelaksanaan pendidikan berjalan efektif, prioritas kebutuhan agar melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam proses pendidikan, masyarakat bahkan murid. Penetapan tujuan sebagai garis pengarahan dan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil pendidikan. Formulasi prosedur sebagai tahap-tahap rencana tindakan, penyerahan tanggung jawab kepada individu dan kelompok kerja.[13] Dalam al-qur’an sendiri, Allah swt mengisyaratkan pentingnya perencanaan dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian yang telah lalu untuk merencanakan langkah-langkah ke depan. Allah swt berfirman :
تَعْمَلُونَ بِمَا خَبِيرٌ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ وَاتَّقُوا لِغَدٍ قَدَّمَتْ مَا نَفْسٌ وَلْتَنْظُرْ اللَّهَ اتَّقُوا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan."[14]
Perencanaan selalu terkait masa depan, dan masa depan selalu tidak pasti, banyak faktor yang berubah dengan cepat. Tanpa perencanaan, sekolah atau lembaga pendidikan akan kehilangan kesempatan dan tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang akan dicapai dan bagaimana mencapainya. Oleh karena itu, rencana harus dibuat agar semua tindakan terarah dan terfokus pada tujuan yang akan dicapai. Menurut Nanang Fattah dalam perencanaan ada beberapa model perencanaan pendidikan, akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:[15]
a.       Model Perencanaan Komprehensif, Model ini terutama digunakan untuk menganalisis perubahan-perbahan dalam system pendidikan secara keseluruhan. Disamping itu berfungsi sebagai suatu patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik kearah tujuan-tujuan yang lebih luas.
b.      Model Target Setting, Model ini diperlukan dalam upaya melaksanakan proyeksi ataupun memperkirakan perkembangan dalam kurun waktu tertentu.
c.       Model Costing (Pembiayaan) dan Keefektifan Biaya, Model ini sering digunakan untuk menganalisis proyek-proyek dalam criteria efisien dan efektifitas ekonomis.
d.      Model PPBS (Planning, programming, budging, system), dalam bahasa Indonesia adalah system perencanaan, penyusunan, program dan penganggaran (SP4). Model ini bermakna bahwa perencanaan, penyusunan program dan penganggaran dipandang sebagai suatu system yang tidak terpisahkan satu sama lainnya.

2.      Organizing (Pengorganisasian)
Syarifudin menjelaskan bahwa pengorganisasian merupakan upaya penentuan kerja melalui bagian-bagian  tugas, wewenang sesuai ruang lingkup keja.[16] Menurut Ramayulis Pengorganisasian dalam pendidikan islam adalah proses penentuan struktur, aktivitas, interaksi, kordinasi, desain struktur, wewenang, tugas secara transparan dan jelas. Dalam pendidikan Islam baik yang bersifat individual, kelompok maupun kelembagaan. Pengorganisasian dan sistem manajemen dalam pendidikan Islam merupakan implementasi dari perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam pengorganisasian ini perlu diperhatikan semua kekuatan dan sumber daya yang dimiliki. Sumber daya tersebut mencakup sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. Sumber daya manusia ditentukan dalam struktur organisasi, tata dan pola kerja, prosedur dan iklim organisasi secara transparan. Dengan demikian dalam aktivitas operasionalnya dapat berjalan dengan teratur dan sistematis.[17]
Pengorganisasian adalah suatu proses penentuan, pengelompokan dan pengaturan bermacam-macam aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap organisasi ini, menyediakan alat-alat yang diperlukan, menempatkan wewenang yang secara relatif di delegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Allah sendiri menyuruh kita untuk mengatur segala aktivitas kita sesuai dengan kemampuan, sebagaimana firmannya:
تَعْلَمُونَ فَسَوْفَ عَامِلٌ إِنِّي مَكَانَتِكُمْ عَلَى اعْمَلُوا قَوْمِ يَا قُلْ
”Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui”.[18]
3.      Pelaksanaan (Actuating)
Ada beberapa istilah yang sama dalam pengertian actuating. Istilah tersebut adalah motivating (usaha memberikan motivasi kepada seseorang untuk melaksanakan pekerjaan), directing (menunjukan orang lain supaya mau melaksanakan pekerjaan), staffing (menempatkan seseorang pada suatu pekerjaan dan bertanggung jawab pada tugasnya), dan leading (memberikan bimbingan dan arahan kepada seseorang sehingga mau melakukan pekerjaan tertentu).[19] Pergerakan dalam sistem manajemen pendidikan islam adalah dorongan yang didasari oleh prinsip-prinsip religius kepada orang lain, sehingga orang tersebut mau melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan semangat.[20]
4.      Pengawasan (Controlling)
Menutut Nanang Fattah ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan supaya pengawasan dapat berfungsi efektif antara lain: (a) Pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan dan kriteria yang dipergunakan dalam sistem pendidikan yaitu: relevansi, efektivitas, efisiensi, dan produktivitas; (b) Pengawasan harus disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan organisasi; (c) Pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan.[21] Menurut Ramayulis pengawasan didefinisikan sebagai peroses pemantauan yang terus menerus untuk menjamin terlaksananya perencanaan secara konsekwen baik yang bersifat materil maupun spiritual.[22]
Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan di lapangan sesuai dengan program dan mekanisme yang sudah diatur. Namun gaya kepemimpinan seorang leader dalam mengontrol akan mempengaruhi kualitas controlling tersebut. Sebagaimana pendapat Nanang Fattah di atas, bahwa fungsi controlling yang dilakukan seorang leader harus berorientasi pada tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
2.3 Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan Pendidikan
            Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.[23] Berikut ini adalah penjabarannya:
1.      Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2.      Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3.      Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4.      Efisiensi
Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a.       Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya, Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
b.      Dilihat dari segi hasil, Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.





           












2.4 Konsep dasar Manajemen keuangan Pendidikan
1.      Manajemen Keuangan
Mulyasa mengatakan bahwa manjemen keuangan sekolah merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan, yang secara keseluruhan menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan secara efektif dan transparan.[24] Tim dosen administrasi Pendidikan UPI menyatakan manajemen keuangan adalah manajemen terhadap fungsi-fungsi keuangan. Sedangkan fungsi keuangan merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang tertentu. Fungsi manajemen pendidikan adalah menggunakan dana dan mendapatkan dana.[25]
Manajemen memiliki tiga tahapan penting yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan dan tahap penilaian. Ketiga tahapan tadi apabila diterapkan dalam manajemen keuangan adalah menjadi tahap perencanaan keuangan (budgeting), Pelaksanaan (Akunting) dan tahap penilaian atau evaluasi (Auditing).
a.       Penganggaran (budgeting)
Penganggaran (budgeting) merupakan kegiatan atau proses penyusunan anggaran. Budget merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu.[26] Lebih jauh Nanang Fatah menjelaskan dalam menentukan biaya satuan pendidikan terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro mendasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian dibagi jumlah murid. Pendekatan mikro mendasarkan perhitungan biaya berdasarkan alokasi pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan oleh murid.[27]
Morphet (1975) sebagaimana dikutip Mulyasa menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penganggaran biaya pendidikan adalah sebagai berikut[28] :
·         Anggaran belanja sekolah harus dapat mengganti beberapa peraturan dan prosedur yang tidak efektif sesuai dengan kebutuhan pendidikan.
·         Merevisi peraturan dan input lain yang relevan, dengan mengembangkan perencanaan sistem yang efektif.
·         Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus menerus dan berkesinambungan sebagai bahan perencanaan tahap berikutnya.
Untuk mengefektifkan pembuatan perencanaan keuangan sekolah, maka yang sangat bertanggung jawab sebagai pelaksana adalah kepala sekolah. Kepala sekolah harus mampu mengembangkan sejumlah dimensi pengembangan administrative. Dalam hubungan ini penyusunan RAPBS memerlukan analisis masa lalu dan lingkungan  ekstern yang mencakup kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan ancaman (threats).[29]
b.      Pelaksanaan (Akunting)
Akunting adalah bahasa yang digunakan untuk menggambarkan hasil kegiatan ekonomi.[30] Menurut Mulyasa dalam pelaksanaan keuangan sekolah dalam garis besarnya dapat dikelompokan ke dalam dua kegiatan, yakni penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan keuangan sekolah dari sumber-sumber dana perlu dibukukan berdasarkan prosedur pengelolaan yang selaras dengan kesepakatan yang telah disepakati, baik berupa konsep teoritis maupun peraturan pemerintah.[31]
c.       Evaluasi (Auditing)
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.[32] Sedangkan  menurut Mulyasa dalam evaluasi keuangan sekolah, pengawasan merupakan salah satu proses yang harus dilakukan dalam manajemen pembiayaan berbasis sekolah. Dalam keuangan manajemen sekolah, kepala sekolah perlu melakukan pengendalian pengeluaran keuangan sekolah selaras dengan anggaran anggaran belanja yang telah ditetapkan.[33] Menurut Nanang Fattah secara sederhana proses pengawasan terdiri dari tiga kegiatan, yaitu  memanatau (monitoring), menilai dan melaporkan.[34]
Proses evaluasi ini dilakukan untuk agar kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan manajemen keuangan berjalan secara efektif dan efisien dan tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam prosesnya. Di sinilah seorang kepala sekolah harus memantau dan menilai hasilnya. Ada beberapa jenis-jenis Auditing :
1)      Audit Laporan Keuangan, Audit laporan keuangan bertujuan menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi,telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu.
2)      Audit Operasional, Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektitasnya.Umumnya, pada saat selesainya audit operasional,auditor akan memberikan sejumlah saran kepada manajemem untuk memperbaiki jalannya operasi lembaga.
3)      Audit Ketaatan, Audit ketaatan bertujuan mempertimbangkan apakah auditi(klien) telah mengikuti prosedur atau aturan tertentu yang telah ditetapkan pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi.Suatu audit ketaatan pada lembaga(perusahaan) swasta,dapat termasuk penentuan apakah para pelaksana akuntasi telah mengikuti prosedur yang telah ditetepkan oleh lembaga.Contoh peninjauan tingkat upah,pemeriksaan perjanjian dengan pihak lain (seperti bank/kreditor), dan memenuhi ketentuan hokum yang berlaku.

2.      Manajemen Pembiayaan Pendidikan
a.       Pengertian biaya pendidikan
Biaya pendidikan diartikan sebagai sejumlah uang yang dihasilkan dan dibelanjakan untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup gaji guru, peningkatan kemampuan profesional guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang belajar, pengadaan parabot/mebeler, pengadaan alat-alat pelajaran, pengadaan buku-buku pelajaran, alat tulis kantor, kegiatan ekstakulikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan, dan supervisi pembinaan pendidikan serta ketataushaan sekolah.[35] Secara teoritis, konsep biaya di bidang lain mempunyai kesamaan dengan bidang pendidikan, yaitu lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen jasa pendidikan yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang lulusan.
Dana (uang) memainkan peran dalam pendidikan dalam tiga area; pertama, ekonomi pendidikan dalam kaitannya dengan pengeluaran masyarakat secara keseluruhan; kedua, keuangan sekolah kaitannya dengan kebijakan sekolah untuk menerjemahkan uang terhadap layanan kepada peserta didik; dan ketiga, pajak administrasi bisnis sekolah yang harus diorganisir secara langsung berkaitan dengan tujuan kebijakan.[36] Pusat perhatian mendasar dari konsep ekonomi adalah bagaimana mengalokasikan sumber-sumber terbatas untuk mencapai tujuan yang beraneka ragam mungkin tak terhingga.
Biaya pendidikan merupakan dasar empiris untuk memberikan gambaran karakteristik keuangan sekolah. Analisis efisiensi keuangan sekolah dalam pemanfaatan sumber-sumber keuangan sekolah dan hasil (out put) sekolah dapat dilakukan dengan cara menganalisis biaya satuan (unit cost) per siswa. Biaya satuan per siswa adalah biaya rata-rata persiswa yang dihitung dari total pengeluaran sekolah dibagi seluruh siswa yang ada di sekolah (Enrollment) dalam kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui besarnya biaya satuan per siswa menurut jenjang dan jenis pendidikan berguna untuk menilai berbagai alternatif kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.[37]
b.      Jenis-jenis Pembiayaan Pendidikan
Menurut Nanang Fattah Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua maupun siswa itu sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung adalah berupa keuntungan yang hilang (earning forgane) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan siswa selama belajar.[38]

c.       Sumber-sumber Biaya Pendidikan
Dalam hal menghimpun dana (raising funds), dana pada dasarnya dapat digali dari dua sumber, yaitu berasal dari dalam lembaga sendiri (intern) dan melalui pihak luar (ekstern). Di antaranya adalah sebagai berikut :
1)      Pemerintah dan masyarakat
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan nomor 20 tahun 2003 pasal 46 ayat 1 dijelaskan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam pasal 49 ayat 3 juga dijelaskan bahwa dana dari pemerintah tersebut berbentuk hibah untuk satuan pendidikan. Berdasarkan Undang-undang diatas, jelaslah bahwa sumber utama bagi pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah yang di dukung oleh masyarakat. Masyarakat harus pro aktif dalam mensukseskan proses pendidikan baik dengan membantu secara finansial maupun membantu dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif.
2)      Wakaf
            Wakaf adalah sumbangan dalam pengertian umum merupakan hadiah yang diberikan untuk memenuhi banyak kebutuhan spiritual dan temporal kaum muslimin. Dana-dana yang diperoleh dari sumbangan tersebut digunakan untuk membangun dan merawat tempat ibadah, mendirikan sekolah dan rumah sakit, menafkahi para ulama dan da’i, mempersiapkan kebutuhan kaum muslimin dan memasok senjata bagi para pejuang yang berperang di jalan Allah.[39] Salah satu sumber dana bagi pendidikan islam ialah wakaf dari orang islam. Wakaf berasal dari amal dengan cara memanfaatkan harta, dan harta itu harus dikekalkan, atau yang digunakan adalah hasil harta itu, tetapi asalnya tetap. Dengan melihat definisi ini saja kita sudah menangkap bahwa biaya pendidikan yang berasal dari wakaf pasti amat baik karena biaya itu terus menerus dan modalnya tetap. Ini jauh lebih baik dari pada pemberian uang atau bahan yang habis sekali pakai.
3)      Zakat
Pendidikan termasuk ke dalam kepentingan sosial, sudah sepantasnya zakat dapat dijadikan sumber dana pendidikan. Dana zakat harus dikelola secara profesional dan transparan agar sebagiannya dapat dipergunakan untuk membiayai lembaga pendidikan islam.
4)      Sumber dana lain yang tidak mengikat
Menurut Ramayulis sumber dana bagi lembaga pendidikan islam bisa berasal dari sumber lainnya, baik sumber intern maupun sumber ekstern. Sumber dana yang bersifat intern ini bisa diperoleh dari pembentukan badan usaha atau wirausaha, membentuk lembaga Badan Amil Zakat (BAZ) maupun dengan melakukan promosi dan kerjasama dengan berbagai pihak yang bisa menunjang dana kegiatan. Sedangkan sumber dana yang bersifat internal bisa diperoleh dari donatur tetap ataupun bantuan

2.5 Problematika Manajemen Keuangan Sekolah
Manajemen keuangan sekolah tidak luput dari berbagai masalah. Di antara masalah-masalah tersebut adalah, penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri (korupsi), membebankan pembiayaan kepada siswa didik, pelaporan keuangan yang penuh manipulasi, pembelanjaan keuangan yang tidak tepat guna, dan lain sebagainya. Dari masalah-masalah yang telah disebutkan akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut:
a.       Penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri (korupsi)
Korupsi memang sudah menjamur di mana-mana, baik instansi swasta maupun negeri, termasuk juga di sekolah. Korupsi adalah tindakan memperkaya diri dengan berbagai cara yang melanggar aturan hukum. Korupsi di sekolah sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi yang seringkali terjerat dalam kasus korupsi biasanya adalah kepala sekolah dan bendahara. Kepala sekolah sebagai manajer memiliki keleluasaan dalam mengendalikan uang. Kebijakan-kebijakan yang di keluarkan kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang sudah direncanakan dalam Rencana Anggaran Belanja Sekolah. 
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2007 hingga 2010 membuktikan bahwa korupsi di ranah sekolah ternyata sangat menggiriskan. Menurut Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, masalahnya terletak pada hubungan antara sekolah dengan dinas pendidikan. Otonomi sekolah yang diwujudkan melalui program Manajemen Berbasis Sekolah tidak benar-benar membuat sekolah otonom.[40] Sayangnya korupsi di tingkat sekolah seringkali dibiarkan oleh aparat penegak hukum. Sebab, konon jumlahnya tergolong kecil sedangkan para aparat sedang berupaya menjaring para koruptor kakap. Memang sudah kacau balau negeri ini. jika koruptor-koruptor kelas teri dibiarkan, maka sama saja dia sedang dibiaran untuk berlatih korupsi. Dan bagaimana jika dianalogikan, sepuluh teri sama dengan satu kakap. Dan bukankah biasanya, korupsi di sekolah sangat merugikan negeri ini dalam jangka panjang, karena sekolah sebagai pencetak generasi penerus bangsa. 
b.      Membebankan pembiayaan kepada siswa didik
Anggaran dari pemerintah sebesar 20% teranya masih sangat kurang. Buktinya, hampir semua sekolah mengadakan pungutan kepada siswa. Jumlah pungutannya beragam, ada yang ringan, ada pula yang luar biasa besar. Pungutan-pungutan tersebut terkadang dibuat oleh pihak sekolah dan pengurus komite. Biasanya, pengurus komita sudah kong kali kong dengan pengurus sekolah, dan kemudian dipasrahi agar bagaimana semua wali siswa menyetujui anggaran yang sudah direncanakan ketika diadakan rapat yang mengundang semua wali siswa. Perlu dicatat, biasanya pengurus komite mendapatkan honor bulanan  dari sekolah, dan anehnya, honor kerap membuat para pengurus komite menjadi kehilangan daya kritisnya. Semestinya, pengurus komite bisa bersikap kritis, sehingga dana yang dibebankan kepada siswa bisa diperingan dengan cara menghilangkan pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperlukan, dan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang gendut.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. Adapun tujuan dari manajemen keuangan adalah untuk memperoleh, dan mencari peluang sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan sekolah, agar bisa menggunakan dana secara efektif dan tidak melanggar aturan, dan membuat laporan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Ada beberapa prinsip manajemen keuangan sekolah, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi. Prinsip-prinsip manajemen tersebut ternyata tidak diterapkan di semua sekolah. Ada beberapa masalah dalam manajemen keuangan sekolah antara lain: penyalahgunaan keuangan untuk memperkaya diri (korupsi), membebankan pembiayaan kepada siswa didik, pelaporan keuangan yang penuh manipulasi, pembelanjaan keuangan yang tidak tepat guna, dan lain sebagainya. Masalah-masalah tersebut harus mendapatkan perhatian, khsususnya dari pemerintah dan komite sekolah, sehingga tidak menghambat dan merugikan banyak pihak.
3.2 Kritik dan Saran
            Dari hasil makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Dan dapat kita ambil ibrah supaya kita memperbaiki system amnejemen keuangan pendidikan. Dan segala yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari diri saya. Dan saya sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan karya ilmiah selanjutnya






DAFTAR PUSTAKA
 AL-Quran dan terjemahnya
Shadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia: Jakarta, 2005.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009).
Silalahi, Ulbert, Pemahaman Praktis Asas-asas Manajemen. (BandungMandar Maju: Bandung, 2002).
Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005).
Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Teras, 2009).
Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).
Jusuf, Kadarman, Pengantar Ilmu Manajemen, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Romayulis, Manajemen Pendidikan  Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008)
Fatah, Nanang, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).
Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. 2007. Departemen Pendidikan Nasional.

Situs:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d528dc2163d1/model-korupsi-di-sekolah-semakin-canggih. diunduh 17 Desember 2013.

[1] Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia: Jakarta, 2005), hal: 372
[2] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 87
[3] Ulbert Silalahi, Pemahaman Praktis Asas-asas Manajemen. (BandungMandar Maju: Bandung,2002), hal: 4
[4] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 41
[5] Sulistyorini, Manajemen Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Teras, 2009) Hal: 130-131
[6]Akhmad Sudrajat, Konsep dasar manajemen keuangan sekolah, diunggah 17 desember 2013.
[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 8
[8] Ibid, hal: 9
[9] Kadarman Jusuf, Pengantar Ilmu Manajemen, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992) hal: 18
[10] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 92
[11] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 94
[12] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 14
[13] Romayulis, Manajemen Pendidikan  Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal: 271
[14] Al-Qur’an dan terjemahnya, surah al-Hasyr, ayat: 18
[15] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 50-56
[16] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), hal: 19
[17] Romayulis, Manajemen Pendidikan  Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal: 272
[18] Al-Qur’an dan terjemahnya surah al-Zumar ayat : 39
[19] Romayulis, Manajemen Pendidikan  Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal: 273
[20] Ibid, hal: 274
[21] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 106-107
[22] Romayulis, Manajemen Pendidikan.,,, hal: 274
[23] Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. 2007. Departemen Pendidikan Nasional., hlm. 9-17
[24] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 194
[25] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 256
[26] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 47
[27] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 26
[28] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 196
[29] Nanang Fatah, Ekonomi dan.,,, hal: 54
[30] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 265
[31] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis.,,, hal: 201
[32] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009). Hal: 265
[33] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 205
[34] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 66
[35] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal: 112
[36] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal: 195
[37] Nanang Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan,… hal: 25
[38] Ibid, hal: 23
[39] Romayulis, Manajemen Pendidikan  Islam, ( Jakarta : Kalam Mulia, 2008), hal: 293
[40] Dikutip dari sebuah situs:  dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d528dc2163d1/model-korupsi-di-sekolah-semakin-canggih. diunduh 17 Desember 2013

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "PROBLEMATIKA DAN PROSPEK PENDIDIKAN ISLAM MASA KINI DAN MASA DATANG "

Amouy mengatakan...

Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^